Dalam hati terlintas jika mengkritik bukan lah sebuah hal yang gila. Apalagi diikutsertakan dengan data dan kajian yang ilmiah. Dengan berbagai dinamika yang terjadi, dan dari berbagai perspektif banyak orang yang ikut menyaksikan, sehingga besar keinginan untuk menuangkan ini semua dalam bentuk kata-kata sederhana yang bisa dibaca banyak orang.
Mencoba mengulik dari sudut pandang seorang mahasiswa. Banyak dari mereka yang berlomba-lomba menguasai dengan dalih mensejahterakan teman-teman mahasiswa lainnya, namun lupa untuk memerdekakan dirinya.
Banyak dari mereka yang sibuk dengan urusan kedua, padahal urusan pertama sebagai insan intelektual yang punya tanggung jawab moral dengan keilmuannya diabaikan begitu saja. Terlihat dari pencapaian akademis yang tak berimbang.
Mahasiswa katanya, namun tak sopan bercengkarama, angkat kaki sini sana, lempar botol sambil tertawa tak berguna. Ya begitulah mereka, mengklaim diri sebagai insan berakal, namun lupa dengan tujuan utama.
Memang tidak semua, sebagian dari mereka masih dalam tujuan yang mulia, hanya saja beberapa oknum yang dapat merusak citra.
Sampailah pada situasi genting beradu kekuasaan, saling menjatuhkan dengan ego yang tak terhentikan. Tak masalah tak punya wawasan, selagi masih dalam ideologi yang sama, semua akan baik-baik saja.
“Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.”
Begitulah perkataan yang diucapkan seorang soe hok gie di masa hidupnya.
Apakah sosok seperti ini yang patut kita jadikan pemimpin, menggunakan kata independen hanya sebagai cara menarik perhatian. Dan pada akhirnya kepentingan kelompok yang dikedepankan.
Lantas? Apa yang harus kita lakukan?
Kita belum kalah sebenarnya masih ada waktu untuk berbenah, silahkan saja pengkaderan hari ini diatur oleh mereka tetapi kita harus mengawal sebagai negara yang menganut asas demokrasi harus ada penyeimbang, mengkritik ketika kinerja mereka salah adalah hal yang sangat wajar dilakukan.
Belum lagi janji-janji yang dikemas dalam program kerja yang telah disusun rapi diatas kertas apakah semua sudah sesuai dengan kenyataan dengan apa yang diinginkan, sesuai dengan yang tertulis di dalam visi misi yang selama ini di dengungkan, jangan hanya terlena duduk diam diatas singgasana, karena janji – janji telah ditunggu kebenarannya.
Sadarlah wahai jiwa raga yang senantiasa membawa nama kebanggan atas suatu usaha dari golongan, melainkan atas nama perjuangan demi pelaksanaan tata cara serta aturan main yang relevan tak lekang oleh jaman.
Dalam konstelasi pemilihan kaulah yang pantas jadi pemenang, dalam dukungan pun layak dikatakan pemenang, meskipun lawan kalah dalam dukungan, kaulah pemenang secara aklamasi berdasarkan konstitusi, selayaknya Mahasiswa mengamini.
Inilah yang terjadi, roda demokrasi tak akan pernah berhenti, namun kekuasaan tak hanya di duduki dengan demokrasi, juga berpeluang berjalan dengan oligarki.
Kritik tak harus di sembunyi, diam bukan berarti menyetujui, namun kadang takut dihakimi. Sama-sama berbenah untuk kita bersama. Demi terjalannya kehidupan mahasiswa yang sejahtera.
Terakhir, Bung karno pernah berkata “Bunga mawar tidak pernah mempropagandakan harumnya, namun keharumannya sendiri menyebar melalui sekitarnya”.
Juga berlaku sebaliknya, bunga bangkai tak pernah menyebar kebusukannya, namun kebusukan itu sendiri yang menyebar ke sekitarnya.
Demikianlah sedikit cerita dari seorang mahasiswa di sebuah kampus di negara wakanda.
Panjang umur untuk orang-orang baik yang terus berjuang..
Penulis : Okta Saputra