Saya tidak akan mengucapkan salam tetapi semoga keselamatan selalu tercurahkan untuk kita semua.
Saudara-saudara. Saya gunakan kata “saudara-saudara” karena tulisan ini ditujukan bukan hanya untuk mahasiswa, rektorat (senat dan dosen), pihak keamanan kampus (satpam) dan awak media tetapi untuk semua makhluk yang sampai detik ia membaca tulisan ini masih dapat berpikir dengan layak. Sebelumnya, saya terang dan tegaskan terlebih dahulu bahwa tulisan ini lahir dari pikiran yang haus akan keadilan berdemokrasi.
Nyata sudah bahwa demokrasi di kampus peradaban (Universitas Bangka Belitung) hari ini jelas dan terang diperkosa. Keadilan di kampus peradaban hari ini jelas dan terang ditelanjangi. Pemerintahan mahasiswa di kampus peradaban hari ini jelas dan terang dilecehkan.
Saudara-saudara, tadi siang saya masuk dalam barisan mahasiswa yang berusaha mengimplementasikan hak berdemokrasi dengan cara menyampaikan pendapat di depan umum. Sayang beribu sayang, pihak yang mengaku sebagai orang tua mahasiswa di kampus peradaban justru tidak hadir dan tidak jelas keterangan dimana rimbanya. Tuntutan/keluhan/permasalahan/polemik yang dibawa oleh mahasiswa tidak diindahkan dan sangat jelas tegas ditolak mentah-mentah pihak rektorat dan senat. Justru kita dibenturkan dengan segala bentuk permainan administrasi yang mereka bilang adalah sebuah bentuk legalitas. Kita telah dinyatakan melanggar sterilasasi kampus. Tetapi saudara-saudara, kita sama-sama tahu bahwa walaupun besok kiamat keadilan harus tetap ditegakkan.
Banyak sekali pernyataan dan pertanyaan yang bertebaran di media “kenapa tidak aksi setelah masa sterilasasi?” Kita dianggap tidak berpikir dan tidak paham akan kesehatan. Kita sama-sama tahu bahwa kampus tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Kita sama-sama tahu bahwa pihak yang mengaku (pura-pura) orang tua mahasiswa sangat piawai dalam intervensi, intimidasi, memutar balikan fakta, dan bermain administrasi yang menjadi legalitas kampus. Kita tidak tahu selama 14 hari lagi entah peraturan seperti yang akan lahir dan menjadi tameng untuk menghantam pemerintahan MAHASISWA. Ini adalah kondisi terdesak. Oleh karena itu, sesegera mungkin peraturan rektor harus segera dicabut. Walaupun itu katanya melanggar sterilasasi kampus dan segala bentuk peraturan lain. Tetapi kita selalu yakin dan istiqomah bahwa kita berada dijalan yang benar guna menyehatkan peraturan kampus yang sedang sakit parah. Jangan sampai rentang waktu sterilasasi, kita dibuat terbuai dan lupa dengan sakit kronis peraturan di kampus peradaban. Ini adalah bentuk pengorbanan yang mesti diambil oleh mahasiswa. Dan saya tegaskan sekali lagi bahwa tidak ada iktikad baik dari pihak kampus untuk duduk dan mengadakan islah hingga mahasiswa harus datang mengetok pintu rumahnya sendiri guna memanggil orang tuanya.
Saudara-saudara, aksi berakhir ricuh dan terjadi adu pukul antara mahasiswa dan pihak keamanan kampus. Tetapi saudara-saudara yang budiman, jangan kita cari siapa yang salah dan memulai pertikaian. Apakah mahasiswa? Apakah pihak keamanan kampus? Sangat jelas bahwa keduanya adalah korban. Kita mesti kembali ke titik awal tuntutan mahasiswa. Permasalahan yang hadir adalah permasalahan antara mahasiswa dan pihak kampus (senat dan rektorat). Antara orang tua (walaupun hanya dimulut) dan anak. Pihak keamanan hanya menjelaskan tugas. Lalu banyak lagi pernyataan dan pertanyaan yang berhamburan di media-media. Siapa yang salah? Siapa yang memulai? Siapa yang harus bertanggung jawab? Nyata dan jelas jawabannya adalah rektorat dan senat.
Mengaku orang tua. Tetapi tidak pandai menyelesaikan masalah dengan demokrasi. Tidak pandai mendengar pendapat mahasiswa. Bahkan tidak pandai untuk “belajar” mendengar pendapat. Ricuh hari ini yang disalahkan adalah mahasiswa. Tetapi kita mesti/kudu/harus/wajib tahu bahwa sumber dari ricuh adalah pihak rektorat dan senat yang telah menjadi otoriter.
Tegas/jelas/terang/bulat/kongkrit bahwa peraturan rektor nomor 2 tahun 2019 tentang kemahasiwaan adalah peraturan yang lahir dari rahim ketidakadilan dan pemekorsaan demokrasi. Saudara-saudara keinginan mahasiswa hanya satu “CABUT PERATURAN REKTOR.” pasal-pasal yang menjadi permasalahan adalah bagian kecil dari tuntutan mahasiswa. Tetapi titik berat dan inti dari permasalahan peraturan rektor adalah pada proses lahirnya peraturan rektor.
Seharus peraturan rektor nomor 2 tahun 2019 tentang kamahasiswaan adalah “baik” karena dapat menjadi acuan dalam pemerintahan mahasiswa. Tetapi yang sangat disayangkan adalah dalam proses pembuatan peraturan rektor tidak melibatkan mahasiswa sedikit pun. Akhirnya pasal-pasal yang hadir justru bertentangan dengan keadaan pemerintahan mahasiswa UBB dan tidak memberi ruang mahasiswa untuk mengatur pemerintahannya sendiri.
Pertama. Tidak memperhatikan keputusan Kemendikbud nomor 155 tahun 1998 tentang pedoman umum organisasi kemahasiwaan di perguruan tinggi. Padahal dijadikan dasar mengingat dalam pembuatan peraturan rektor nomor 2 tahun 2019. Bahkan telah melanggar Pasal 2 dalam Keputusan Kemendikbud nomor 155 tahun 1998 yang menyatakan : “Organisasi kemahasiswaan di Perguruan Tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa”. Kemudian dalam Pasal 6 : “Derajat kebebasan dan mekanisme tanggungjawab organisasi kemahasiswaan intra Perguruan Tinggi terhadap Perguruan Tinggi ditetapkan melalui kesepakatan antara mahasiswa dengan pimpinan Perguruan Tinggi dengan tetap berpedoman bahwa pimpinan Perguruan Tinggi merupakan penanggungjawab segala kegiatan di Perguruan Tinggi dan/atau yang mengatasnamakan Perguruan Tinggi”. Jelas dan terang bahwa disini mahasiswa memiliki ruang untuk mengatur pemerintahannya sendiri dan segala bentuk batasan dan pertanggungjawaban mesti dibuat berdasarkan putusan bersama antara mahasiswa dan pihak perguruan tinggi (senat dan rektorat). Sampai Anda membaca tulisan ini, sangat nyata hal ini tidak pernah terjadi.
Kedua. Melanggar peraturan nomor 3 tahun 2018 tentang tata cara penetapan peraturan senat universitas, peraturan rektor dan keputusan rektor. Seharusnya ini menjadi acuan utama dalam pembuatan peraturan rektor nomor 2 tahun 2019. Sebagaimana bunyi pasal 57 ayat (1) Sivitas Akademika berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Peraturan Rektor dan ayat (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui : rapat dengar pendapat; kunjungan kerja; sosialisasi dan/atau seminar, lokarya dan/atau diskusi. Nyata lagi bahwa peraturan rektor tidak mengacu pada hal ini karena dalam pembuatannya tidak ada satu pun mahasiswa yang ikut terlibat bahkan tidak ada iktikad baik untuk melibatkan mahasiswa yang menjadi bagian dari sivitas akademik.
Ketiga. Tidak adanya kepastian hukum. Sebagaimana dasar utama pembuatan produk hukum yaitu: kepastian hukum, kemamfaatan dan keadilan. Dalam implementasinya jelas telah melanggar pasal tertentu dan tetap berusaha mempertahankan pasal yang lainnya. Melanggar pasal 20 ayat 3 poin (b) dan pasal 23 ayat 3 poin (b) tentang tugas DPM: memilih dan menentapkan formatur dan med-formatur BEM. Tetapi tetap berusaha mempertahankan pasal 28 ayat 3 poin (b) dan (c) tentang kepengurusan dan anggota terkait maksimal semester dan minimal IPK.
Saudara-saudara, sudah kongkrit peraturan rektor nomor 2 tahun 2019 ini adalah produk hukum yang GAGAL dan ditolak oleh semua mahasiswa UBB. Bila kita membiarkan peraturan rektor ini tetap bertahan dengan segala bentuk otoriter dalam pembuatannya maka jelas sudah akan segera lahir peraturan-peraturan lainnya yang sejenis dengan pembuatan peraturan rektor yang jelas akan memperkosa demokrasi dan mengkebiri pemerintahan mahasiswa. Hanya satu tuntutan kita “CABUT PERATURAN REKTOR” maka masalah “SELESAI.”
Penulis: Roy (mahasiswa yang peduli).