“Seorang penguasa yang bijaksana harus membangun kekuasaannya berdasarkan apa yang ia sendiri kuasai, bukan berdasarkan apa yang orang lain kuasai. Ia harus berusaha agar ditakuti dan dicintai.” Itu merupakan salah satu kutipan dari buku legendaris dunia; kitab merebut dan mempertahankan kekuasaan; the prince (sang penguasa) karya Niccolo Machiavelli. Walaupun buku ini lahir pada abad 16 tetapi esensinya; aturan dan langkah-langkah dalam permainan politik yang tertuang tidak habis dimakan waktu; abadi.
Saat saya membaca buku ini, tiap-tiap narasi yang disuguhkan oleh Machiavelli merangsang nalar saya untuk menerawang kondisi lapangan politik sekarang. Hal-hal yang dirumuskan oleh Machiavelli seolah-olah (atau memang sengaja) sedang diterapkan oleh rezim yang sekarang bersarang di Indonesia dan terus tiap harinya memperbesar sarang tersebut. Hal ini membuat saya menjadi terpacu untuk dapat menuliskan koherensi antara politik rezim Jokowi dengan gagasan Machiavelli.
Gagasan pertama yang disuguhkan Machiavelli adalah permainan politik kekuasaan. Ada beberapa hal yang menjadi poin-poin penting dari gagasan ini yaitu:
1. Merangkul teman sebanyak mungkin.
2. Jadi penguasa yang paling adidaya.
3. Membumihanguskan musuh dan membunuh bibit perlawanan.
Menilik kondisi sekarang, era Jokowi tentu sangat kental dengan manifestasi gagasan politik kekuasaan Machiavelli. Yang dimaksud oleh Machiavelli pada poin pertama adalah mampu menarik orang-orang untuk masuk dalam kekuasaannya. Metode ini dilakukan sebagai cara pertama untuk memperbesar kekuatan dan memperkecil peluang opisisi yang besar. Hal ini sungguh terjadi di era Jokowi. Sekarang tidak ada lagi opisisi yang melawan kubu petahana. Masih teringat jelas oleh saya bahkan kawan-kawan pembaca semua saat pertarungan seru pesta demokrasi antara petahana dari kubu Jokowi dengan opisisi dari kubu Prabowo. Saat ini, posisi opisisi ini berhasil dilenyapkan dengan cara yang paling elegan yaitu menarik kubu opisisi masuk dalam barisan petahana menjadi teman politik. Tentu ini menghilangkan barisan perlawanan yang sangat dominan sehingga rezim yang dibangun semakin besar dan sulit digoncangkan. Contoh sederhana dapat terlihat pada tidak adanya penolakan dari kubu oposisi terhadap RUU dan UU kontroversial yang dibahas di DPR. Seluruh fraksi setuju.
Pada poin kedua yaitu: jadi penguasa yang paling adidaya. Maksud Machiavelli adalah mampu memegang kekuasaan dengan berdasarkan apa yang ia sendiri kuasai. Tidak boleh ada celah untuk pesaing menjala peluang-peluang posisi strategis pemerintahan yang dapat meniup kursi kekuasaannya. Sehingga hal ini mampu membuat ia yang paling berkuasa. Bila ditilik dari rezim Jokowi, sangat jelas di depan mata kita bahwa hari ini kekuasaan politik Indonesia paling besar berada di bawah bendera partai politik yang menaungi Jokowi. Begitu pula dengan pimpinan legislatif (sang pembuat aturan main pemerintahan) berasal dari kubu Jokowi. Bahkan sekarang politik dinasti Jokowi telah tumbuh seperti jamur di musim hujan dalam tubuh pemerintahan Indonesia. Bentuk politik adidaya Jokowi memberi kita gambaran kuatnya akar politik yang telah ditanamkan oleh rezim Jokowi.
Metode yang dianggap ekstremis oleh banyak pengamat politik Machiavelli adalah menghalalkan segara cara untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Hal itu dapat jelas dilihat pada poin: membumihanguskan musuh dan membunuh bibit perlawanan. Kesan pertama yang terbayang oleh saya ketika membaca narasi itu adalah bentuk pertumpahan darah atau huru-hara. Tetapi di zaman demokrasi, hal ini lebih diperhalus dengan bermain pada aturan. Buktinya konkret di depan mata, sebagai salah satu contohnya adalah pelarangan Ormas (Organisasi Masyarakat) Front Pembela Islam dan bahkan menangkap pimpinan dari organisasi massa tersebut. Kita tidak melihat FPI dari segi kasus yang terjadi tetapi lebih memandang FPI sebagai barisan opisisi yang memiliki kekuatan besar untuk melawan rezim Jokowi. Bila memandang dari sudut itu tentu ini sebagai bentuk membumihanguskan musuh dan membunuh bibit perlawanan. Bentuk lainnya dari manifestasi poin ini adalah membuang potensi-potensi perlawanan dari instansi-instansi independen. Contoh ini dapat dilihat dari perombakan besar-besaran tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Seorang penguasa harus tahu bagaimana bertindak sebagai hewan harus meniru rubah dan singa, karena singa tak bisa melindungi diri dari perangkap dan rubah tak bisa melindungi diri dari serigala. Penguasa harus jadi rubah untuk mengenali perangkap dan jadi singa untuk menakuti serigala. Penguasa yang ingin hanya jadi singa tak memahami ini. Karena itu penguasa yang bijak tak harus menjaga kepercayaan bila dengan melakukan ini bertentangan dengan kepentingannya dan bila alasan-alasan membuatnya mengikatkan diri tak lagi ada.” Itu adalah gagasan yang dilontar Machiavelli untuk terus mampu mempertahankan kekuasaan. Penguasa harus mampu memainkan peran menjadi singa dan rubah sekaligus. Tidak salah satu diantara kedua. Bila hanya salah satu maka sang penguasa tak akan mampu bertahan lama menjadi pengusaha.
Melihat kondisi rezim sekarang tentu semua gagasan itu sangat realistis telah terjadi di dalam tubuh Indonesia. Rezim yang dimainkan oleh Jokowi sangat tampak lihai betul memainkan peran singa dan rubah. Jokowi selalu berhasil tampil sebagai singa di depan rakyatnya. Melalui media-media massa ataupun di depan umum langsung, Jokowi dengan lantang menyerukan program-program mutakhir untuk menyejahterakan rakyat. Di belakang rakyat, dalam seluk-beluk terdalam program-program tersebut justru tersembunyi rubah. Sebagai salah satu contoh dapat kita ambil kasus yang paling nampak yaitu undang-undang Omnibuslaw. Dengan membawa panji peningkatan ekonomi masyarakat, undang-undang Omnibuslaw justru menjual murah tenaga kerja rakyat. Di depan umum dengan pelantang suara, media massa mencatat penampilan singa Jokowi yang hadir untuk meningkatkan ekonomi melalui metode Omnibuslaw. Tetapi jauh di sela-sela isi undang-undang Omnibuslaw bercokol wujud rubah Jokowi. Undang-undang yang memang dengan sadar digagas untuk menjujung harapan oligarki. Memeras keringat jelata demi kantong korporasi. Yang telah menjadi pondasi kekuatan dan kekuasaan rezim Jokowi.
Setalah membaca kondisi Indonesia dari perspektif Machiavelli, saya menjadi teringat dengan sebuah buku yang membuka mata saya dengan kondisi demokrasi Indonesia yaitu: Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die) karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Setelah melihat cara bermain politik rezim Jokowi selanjutnya saya mencoba melihat kondisi demokrasi Indonesia dari sudut pandang buku tersebut. Isi buku How Democracies Die memaparkan analisis dan kondisi demokrasi di Amerika. Walaupun berbeda negara, tetapi indikator-indikator yang menjadi acuan penilaian sehat atau tidaknya demokrasi tetap koheren dengan kondisi Indonesia.
Kesimpulan utama dari buku tersebut adalah bagaimana menilai kondisi demokrasi yang mati karena mendekamnya pemerintah yang otoriter. Bila pemimpin otoriter berhasil menempati posisi teratas sebuah negara maka bisa dipastikan demokrasi dari negara tersebut telah mati. Buku How Democracies Die hadir untuk menunjukkan indikator-indikator yang menandakan kematian tersebut.
Indikator pertama dilihat dari penolakan (atau komitmen lemah) atas aturan main demokratis. Salah satu poinnya adalah melarang organisasi tertentu atau membatasi hak asasi sipil atau politik. Di Indonesia, hal itu dapat dilihat dari pembubaran salah satu organisasi masyarakat yakni Front Pembela Islam sebagai barisan opisisi aktif Jokowi saat opisisi Prabowo masuk dalam barisan petahana. Kemudian terlihat pula dari keputusan Jokowi untuk mendukung pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) walau ditentang banyak pihak.
Kemudian terdapat indikator toleransi dan anjuran kekerasan. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan baik langsung atau tidak langsung melakukan kekerasan kepada lawan politik. Sikap itu terlihat dari aparat keamanan dalam mengamankan aksi demonstrasi di berbagai kota yang menolak revisi UU KPK dan RKUHP diwarnai tindakan represif anti-demokrasi.
Indikator selanjutnya yang menandakan matinya demokrasi yaitu kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media. Indikator ini dapat dilihat dari dukungan mendukung hukum atau kebijakan yang membatasi kebebasan sipil, serta perluasan hukum pencemaran nama baik atau penistaan, atau hukum yang membatasi protes, kritik terhadap pemerintah, atau organisasi sipil atau politis tertentu. Di rezim Jokowi indikator ini terimplementasi dari beberapa kebijakan Jokowi yang menyumbang pelemahan demokrasi, bisa dilihat sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas) dan Peraturan Presiden (perpres) No. 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu terdapat Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengenai pencemaran nama baik sangat konkret menjadi tameng untuk penghalau kritik.
Bila berbicara kondisi demokrasi secara angka real, demokrasi di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,58 poin dari tahun 2016 menjadi 6,39 pada tahun 2017 dan 2018 dalam Indeks demokrasi yang dikeluarkan The Economist Intellegence Unit. Dalam indeks tersebut Indonesia termasuk dalam kategori sebagai demokrasi tidak sempurna (flawed democracy). Status ini artinya Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang relatif bebas dan adil dan menghormati kebebasan sipil dasar, namun memiliki beberapa persoalan seperti pelanggaran kebebasan media serta persoalan tata kelola pemerintahan. Survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia menunjukkan persepsi publik terhadap tingkat demokratisasi di Indonesia semakin menurun. Sebanyak 36 persen responden menyatakan Indonesia menjadi kurang demokratis dan 37 persen menyatakan Indonesia tetap sama keadaannya. Hanya 17,7 persen yang menyatakan bahwa Indonesia lebih demokratis.
Politik Machiavelli Jokowi tentu sangat sukses untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan tetapi hal ini juga berarti sukses mematikan demokrasi di Indonesia. Berkaca dari politik demokrasi di Amerika yang menjadi subtansi pembahasan di buku How Democracies Die, ada hal yang sangat mendasar dari konsep demokrasi yang tidak dimiliki oleh penguasa terkhusus rezim Jokowi yaitu norma-norma demokrasi yang menjadi aturan-aturan tak tertulis dalam perpolitikan. Sampai saat ini konsep demokrasi hanya nampak dijalankan oleh Jokowi pada saat proses pemilihan umum setelah itu semua menjadi Machiavelli. Norma-norma demokrasi yang dimaksud adalah norma-norma saling toleransi dan sikap menahan diri baik secara kelembagaan. Hal ini diimplementasikan dari kubu pemerintahan dan opisisi. Artinya pemerintah harus mengakui lawan politiknya secara sah. Secara tidak langsung, pemerintah dan opisisi lah yang memainkan peran demokrasi dalam sistem presidensial. Agar sistem konstitusi berfungsi seperti yang diharapkan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus menjaga keseimbangan yang rapuh.
Selain itu norma menahan diri juga harus diterapkan untuk tidak menangkap wasit demokrasi. Wasit demokrasi yang dimaksud adalah lembaga-lembaga pemerintah yang diharapkan independen. Dalam negara Indonesia, lembaga-lembaga ini berupa KPK, Bawaslu, KPU, BPK, Ombudsman dan lain-lain. Bila sampai wasit ini telah ditangkap oleh pemerintah maka salah satu pilar demokrasi dalam sebuah negara telah diruntuhkan.
Dibawah pemerintahan yang bersatu, di mana lembaga legislatif dan yudikatif berada di tangan partainya presiden, seperti yang terjadi di dalam resin Jokowi sekarang, resiko yang akan diterima adalah penyerahan kekuasaan dan matinya sistem pengawasan dan perimbangan demokrasi. Hal ini tentu sejalan dengan konsep Machiavelli untuk dapat terus mempertahankan kekuasaan. Bila tedapat kritik terhadap pemerintahan dari opsisi yang lemah maka yang mengendalikan legislatif dan yudikatif bisa mengutamakan pembelaan terhadap presiden ketimbang pelaksanaan tugas-tugas yang konstitusional.
Ketika lembaga legislatif atau yudikatif ada di tangan opisisi, resikonya adalah main kasar konstitusional, di mana opisisi bisa menggunakan hak-hak istimewa kelembagaan sejauh mungkin. Dapat berupa menghilangkan pendanaan pemerintah, bahkan mengadakan pemakzulan untuk mencopot presiden. Di sinilah sikap menahan diri berperan. Agar demokrasi presidensial bisa berhasil, lembaga-lembaga yang cukup kuat untuk mengahalangi presiden mesti secara rutin tidak menggunakan seluruh kekuasaannya.
Dua buku ini membuka mata saya akan kondisi perpolitikan dan demokrasi rezim Jokowi. The Prince karya Machiavelli dan How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt adalah dua buku berbeda zaman tetapi berhasil menafsirkan kondisi rezim Jokowi. The Prince memberi gambaran permainan politik Jokowi yang penuh dengan cara-cara Machiavelli untuk dapat merebut dan mempertahankan kekuasaan. Sedang How Democracies Die adalah antitesis dari The Prince yang membuka mata saya akan kondisi demokrasi yang sekarat dalam rezim Jokowi.
Penulis: Ramsyah Al Akhab (Mahasiswa; penulis buku)