PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG OMNIBUS LAW
Akhir-akhir ini kata Omnibus Law banyak dikemukakan oleh jajaran pemerintah. Mulai dari Menteri Keuangan Ibu Sri Muliani sampai Presiden Jokowi memunculkan istilah ini pada saat memberikan usulan untuk memangkas regulasi agar membangkitkan gairah investasi di Indonesia. Sampai saat ini investasi tidak kunjung menunjukkan angka yang optimis untuk mencapai target yang diharapkan. Artinya omnibus law berkaitan atau berurusan dengan berbagai objek atau hal sekaligus, dan memiliki berbagai tujuan. Jadi, skema regulasi yang sudah dikenal sejak 1840 ini, merupakan aturan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif, tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja.
Bisa disimpulkan bahwa omnibus law adalah UU baru yang memuat beragam substansi aturan yang keberadaannya mengamandemen beberapa UU sekaligus. Istilah ini disebut Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato pertamanya setelah dilantik menjadi presiden untuk kedua kalinya pada Oktober 2019 silam. Jokowi menyebutkan bahwa omnibus lawakan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang. Pemerintah juga meyakini omnibus lawakan memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia sehingga bisa memperkuat perekonomian nasional.
Omnibus law yang akan dibuat Pemerintah Indonesia, terdiri dari dua Undang-Undang (UU) besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Omnibus law rencananya akan menyelaraskan 82 UU dan 1.194 pasal. Persoalan yang akan muncul adalah mengenai kedudukan UU hasil omnibus law ini. Secara teori perundang-undangan di Indonesia, kedudukan UU dari konsep omnibus law belum diatur. Jika melihat sistem perundang-undangan di Indonesia, UU hasil konsepomnibus lawbisa mengarah sebagai UU Payung karena mengatur secara menyeluruh dan kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain. Tetapi, Indonesia justru tidak menganut UU Payung karena posisi seluruh UU adalah sama.
PENGERTIAN OMNIBUSLAW
Omnibus berasal dari Bahasa latin “omnis” yang berarti banyak, atau berarti untuk semua nya. Dalam Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A. Garner menyebutkan Omnibus : relating to or dealing with numerous object or item at once; including many thing or having varius purposes yang berarti berkaitan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus, apabila digandeng dengan kata Law atau Bill maka dapat didefinisikan sebagai hukum untuk semua, menurut Kamus Hukum Merriam-Webster, omnibus law berasal dari omnibus bill, yakni Undang-Undang yang mencakup berbagai isu atau topik.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Savitri menjelaskan bahwa Omnibus law merupakan sebuah Undang-undang yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara untuk merampingkan regulasi dari segi kuantitas atau jumlah. Menurut Firman Freaddy Busroh pakar hukum dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda dalam Jurnal nya yang berjudul “Konseptualisasi Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan” menyebutkan beberapa tujuan dari Omnibus Law, yakni mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien; menyeragamkan kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah untuk menunjang iklim investasi; pengurusan perizinan lebih terpadu, efektif dan efisien; mampu memutus rantai birokrasi yang berlama-lama; meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu; serta adanya jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.
OMNIBUSLAW DALAM KERANGKA HUKUM TATA NEGARA
Dalam penerapannya, sebenarnya omnibus law lebih banyak diterapkan oleh negara-negara yang menganut system Common Law seperti Amerika Serikat, Kanada, Irlandia, Inggris, Korea Selatan, Jerman, Selandia Baru, dll dengan tujuan untuk memperbaiki regulasi di negara nya masing-masing dalam rangka menyederhanakan tumpang tindih regulasi dan menjamin kemudahan dalam iklim dunia bisnis. Sistem hukum Indonesia yang menganut Civil Law System menjadi salah satu alasan belum dikenal nya konsep Omnibus law dalam pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan. Dalam UU No 15 Tahun 2019tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak dikenal atau dicantumkan nya konsep omnibus law sebagai salah satu asas dalam sumber hukum maupun sebagai kerangka metodologis untuk melakukan revisi peraturan perundang-undangan, begitu pula di dalam hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam pasal 7 ayat (1) UU tersebut, Secara teori perundang-undangan di Indonesia, kedudukan UU dari konsep omnibus law belum diatur. Jika melihat sistem perundang-undangan di Indonesia, UU hasil konsep omnibus law berposisi sejajar atau sama dengan UU lain atau bahkan bisa mengarah sebagai UU Payung karena mengatur secara menyeluruh, meliputi banyak substansi/muatan dan kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain, akan tetapi Indonesia justru tidak menganut UU Payung karena posisi seluruh UU adalah sama dibawah TAP MPR dan UU Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai yang tertinggi dalam Hierarki aturan Perundang-undangan. Sehingga persoalan secara teori peraturan perundang-undangan mengenai kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Jimmy Z Usfunan omnibus law dapat diterapkan jika posisi nya sama atau sejajar dengan UU lain, akan tetapi jika berfungsi sebagai UU Payung sama seperti yang sering dicetuskan oleh beberapa pejabat negara maka perlu diperhatikan apakah bersifat umum atau detail seperti UU biasa. Jika bersifat umum, maka tidak semua ketentuan yang dicabut melainkan hanya yang bertentangan saja. Tetapi jika ketentuannya umum, akan menjadi soal jika dibenturkan dengan asas lex spesialis derogat legi generalis (aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum. Oleh sebab itu, harus diatur dalam hierarki perundang-undangan perihal kedudukannya.
Di sisi lain walaupun konsep omnibus law masih dimungkinkan diterima dalam sistem hukum Indonesia, tetapi tidak sejalan dengan semangat reformasi yang telah diperjuangkan dengan berdarah-darah puluhan tahun lalu, dengan adanya omnibus law berpotensi besar memunculkan persoalan dalam penghormatan terhadap otonomi daerah yang menekankan pada kehendak daerah mengatur daerahnya, karena dengan adanya omnibus law, maka secara otomatis peraturan tingkat daerah juga harus mematuhi aturan baru dari konsep omnibus law. Keinginan kuat dari Pemerintah pusat terhadap peningkatan investasi, tidak selamanya bisa diakomodir daerah, sebab ada investasi tertentu yang tidak bisa diterima oleh daerah karena dianggap dapat memudarkan nilai kultural masyarakat setempat, oleh sebab itulah dikenal dengan istilah desentralisasi sehingga daerah memiliki otonomi nya sendiri untuk menentukan dan mengelola segala hal yang berkaitan dengan investasi. Dengan prinsip sentralisasi yang akan menjadi muara apabila omnibus law ini diundangkan menjadi UU yang sah, maka jelas ini adalah bentuk penghianatan terhadap agenda Reformasi yang telah diperjuangkan. Dengan beberapa pertimbangan tersebut dapat dilihat apakah penyusunan Omnibus Law bertujuan untuk sepenuhnya demi kepentingan masyarakat, atau hanya untuk mengakomodir segelintir orang saja yang beraliansi dengan Oligarki, jika omnibus law dibuat untuk melindungi kepentingan penguasa dan mengesampingkan hak-hak pekerja serta masyarakat sipil secara umum, lebih baik Omnibus Law tidak perlu untuk dibuat. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya untuk saat ini, penerapan Omnibus Law bukanlah solusi untuk menunjang tujuan yang diimpikan oleh Presiden Joko Widodo, pengoptimalan terhadap aturan yang sudah ada jauh lebih urgent dilakukan dibandingkan dengan membuat omnibus law dengan tergesa-gesa tanpa kajian yang matang dan komprehensif.
KONTROVERSI OMNIBUSLAW
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga mantan Hakim Konstitusi Republik Indonesia, Prof Maria Farida Indrati menyampaikan keberatanya mengenai omnibus law yang sedang dikerjakan secara cepat oleh Pemerintah dan DPR, Prof Maria berpandangan bahwa penysunan 1 (satu) UU yang mengatur satu substansi saja diperlukan banyak tahapan, terlebih lagi jika membuat 1 (satu) UU yang mengakomodir lebih dari 70 UU seperti omnibus law ini jelas membutuhkan kajian yang lebih mendalam atau komprehensif, dengan dimulai dari proses pemetaan, penyisiran sejumlah UU, hingga mencabut pasal-pasal yang saling tumpang tindih di berbagai peraturan. Omnibus law adalah konsep yang lazim digunakan oleh negara-negara dengan system Common Law dan apabila diterapkan pada Indonesia yang menganut Civil Law tentu nya dikhawatirkan akan memiliki masalah baru terkait dengan kepastian hukum dan berpotensi menyulitkan serta membingungkan banyak orang nanti nya, sebab jika UU Omnibus Law dari berbagai macam aturan hanya diambil sepotong-sepotong akan jadi seperi apa? Misalnya, mencabut pasal 1 dalam sebuah UU yang mengatur definisi bisa berdampak juga pada tidak sinkron nya dengan pasal-pasal lain. Bagi nya, membuat sebuah UU yang mengatur hajat hidup orang banyak tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, Prof Maria mencontohkan proses penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memakan waktu hingga puluhan tahun dalam proses pengkajian nya demi tercipta sebuah aturan yang menjadi cerminan jati diri bangsa.
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri dalam keterangan nya saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menilai ada empat prasyarat yang perlu dipenuhi sebelum omnibus law dibahas. Pertama, pemerintah serta DPR perlu menjamin bahwa sasaran dari omnibus law adalah perubahan, pencabutan, atau pemberlakuan dari fakta yang terkait tetapi terpisah dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kedua, pemerintah bersama DPR perlu melakukan pemetaan regulasi yang terkait baik secara horizontal maupun vertikal dan landasan dari setiap UU yang direvisi melalui omnibus law serta perlu diuji kembali landasan sosiologis serta filosofisnya. Ketiga, omnibus law yang nantinya dibahas tidak boleh diposisikan menjadi UU payung karena system hukum dan legislasi Indonesia tidak mengenal UU semacam itu. Dan Keempat, apabila omnibus law bersifat umum maka regulasi tersebut perlu mencabut ketentuan-ketentuan yang saling bertentangan. Meski demikian, hal ini berpotensi menimbulkan masalah apabila omnibus law yang bersifat umum berhadapan dengan aturan yang bersifat khusus yang mengesampingkan aturan umum. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan bahwasanya pemerintah serta DPR untuk tidak memaksakan keberadaan omnibus law karena sangat sulit untuk menyatukan banyak objek hukum dalam satu UU. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti keberpihakan pemerintah kepada pengusaha dalam Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, RUU yang diusung pemerintahan Presiden Joko Widodo ini dinilai akan memperparah ketimpangan penegakan hukum di Indonesia. Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan Omnibus Law memberikan keringanan kepada pengusaha dengan mengurangi syarat lingkungan hidup, mempermudah perpanjangan izin usaha, dan penghapusan pidana bagi korporasi pelanggar hak, selain itu aturan tersebut memperparah ketimpangan penegakan hukum, khususnya terkait konflik lahan antara masyarakat dengan korporasi. Selain berimplikasi pada penegakan hukum yang sangat lemah bagi perusahaan pelanggar hak dan perusak lingkungan, hal ini juga menunjukkan bagaimana penegakan hukum di Indonesia sungguh timpang. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah dalam keterangan nya yang dimuat oleh CNN saat diskusi di Kantor LBH Jakarta pada 19 Januari 2020 menyampaikan bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law yang tengah digodok pemerintah akan menimbulkan daya rusak terhadap lingkungan hidup dan memaksa masyarakat mengungsi. rancangan Omnibus Law akan resmi melakukan pengusiran, peracunan dan akan membentuk pengungsian sosial ekologi kolosal di Indonesia karena akan adanya bencana lingkungan hidup di Indonesia.
DAMPAK OMNIBUSLAW
Dampak Omnibus law Terhadap Sektor Pendidikan
Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja tidak mewajibkan guru dandosendari negara lain memiliki sertifikat pendidik jika ingin mengajar di Indonesia. Itu berlaku bagi guru dan dosen lulusan perguruan tinggi negara lain yang terakreditasi. Hal itu mengubah ketentuan dalam Pasal 8 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam UU tersebut, Pasal 8 hanya mengandung satu ketentuan, yakni mengenai kewajiban guru memiliki sertifikat pendidik, kompetensi, kualifikasi akademik, sehat jasmani dan rohani. Namun dalam RUU Omnibus Law yang telah diserahkan pemerintah untuk dibahas di DPR, tepatnya pada halaman 498 draf RUU OmnibusLaw, Pasal 8 jadi memiliki 2 ayat. Ayat tambahan tersebut berbunyi, “Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dimiliki oleh guru yang berasal dari lulusan perguruan tinggi lembaga negara lain yang terakreditasi.”Dengan demikian, guru sekolah dalam negeri wajib memiliki sertifikat pendidik. Sementara guru dari negara lain yang mengajar di Indonesia tak wajib memiliki sertifikat pendidik jika lulus dari perguruan tinggi terakreditasi di luar negeri.
Ketentuan serupa juga diterapkan untuk dosen dari negara lain yang ingin mengajar di Indonesia. Pada UU No 14 tahun 2005, Pasal 45 hanya mengandung satu ketentuan, yaitu dosen wajib memiliki sertifikat pendidik, kompetensi, kualifikasi akademik, sehat jasmani dan rohani. Dalam draf RUU Omnibus Law, tepatnya pada halaman 499, Pasal 45 jadi memiliki dua ayat. Ayat pertama mengatur kewajiban dosen memiliki sertifikat pendidik dan lain-lain. Kemudian ayat kedua mengatur pengecualian syarat kepemilikan sertifikat pendidik bagi dosen asing yangingin mengajar di Indonesia.”Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dimiliki oleh dosen yang berasal dari lulusan perguruan tinggi lembaga negara lain yang terakreditasi,” mengutip bunyi Pasal 45 Ayat (2) RUU Omnibus Law. Tak hanya itu, RUU Omnibus Law juga menghapus kewajiban kampus asing untuk memprioritaskan dosen dan tenaga pendidik asal Indonesia. Kewajiban itu, yang sebelumnya tertuang dalam UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dihapus dalam RUU Omnibus Law.
Pemerintah Indonesia, dalam UU No. 12 tahun 2012, juga berhak menetapkan lokasi, jenis dan program studi pada perguruan tinggi asing. Namun semua ketentuan itu dihapus dalam RUU Omnibus Law. Tidak ketinggalan, RUU Omnibus Law juga menghapus ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 67, 68 dan 69 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 67 UU No. 20 tahun 2003 ayat (1) menyatakan bahwa tiap orang, organisasi atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik tanpa hak, akan dipidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar. Ketentuan itu dihapus dalam RUU Omnibus Law bersama 3 ayat lainnya.
Kemudian pada Pasal 68 UU No. 20 tahun 2003 yang memiliki 4 ayat juga dihapus dalam RUU Omnibus Law. Padahal ayat-ayat dalam Pasal 68 itu mengatur soal pidana terhadap orang yang membantu pemberian ijazah dan gelar akademik. Ketentuan pidana terhadap orang yang menggunakan ijazah dan gelar akademik palsu dalam pasal 69 juga dihapus lewat RUU Omnibus Law. Padahal, dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 69, orang yang memakai ijazah dan gelar akademik palsu bisa dipenjara lima tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
Dampak Omnibus law Terhadap Sektor Kelautan
Secara umum, rancangan omnibus law ini memiliki dua kelemahan mendasar, yaitu partisipasi publik dan substansi.
Dari sisi partisipasi, rancangan undang-undang itu jelas-jelas tidak melibatkan pihak-pihak yang akan terkena dampak, khususnya masyarakat pesisir yang terdiri atas nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir. Padahal di dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja terdapat sejumlah pasal yang terkait dengan investasi atau kemudahan berusaha di kawasan laut. Jumlahnya sebanyak 27 pasal dan 87 ayat, terhitung dari Pasal 94 sampai Pasal 121.
Selain itu, di dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja disebutkan sejumlah kata yang terkait dengan laut, yaitu “kelautan” sebanyak tiga kata, “perikanan” sebanyak 120 kata, “pesisir” sebanyak 31 kata, dan “pulau-pulau kecil” sebanyak 30 kata. Pada titik ini, rancangan tersebut sesungguhnya akan memberikan dampak terhadap masyarakat pesisir karena kemudahan berusaha yang diberikan untuk investor akan berada di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
Sungguh sangat ironis ketika Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengeluarkan Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019 yang menunjuk 127 orang menjadi anggota satuan tugas bersama pemerintah serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia untuk konsultasi publik atas rancangan omnibus law tersebut. Komposisi satuan tugas ini didominasi oleh pengusaha, politikus, dan sedikit akademikus. Dari sisi ini, aspek partisipasi publik dalam rancangan omnibus law tidak ada karena tanpa keterlibatan masyarakat pesisir yang akan terkena dampak.Dari sisi substansi, rancangan omnibus law sangat penting untuk dikritik karena disusun bukan untuk kepentingan masyarakat pesisir. Apa saja persoalan rancangan ini dalam konteks pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir?
Pusat Data dan Informasi Kiara (2020) mencatat sejumlah dampak yang akan dialami oleh masyarakat pesisir jika rancangan omnibus law ini disahkan. Pertama, nelayan-nelayan maupun nelayan tradisional di seluruh Indonesia maupun Bangka Belitung yang menggunakan perahu di bawah 10 gross tonnage serta menggunakan alat tangkap ramah lingkungan dipaksa harus mengurus perizinan perikanan tangkap. Tak hanya itu, rancangan omnibus law ini menyamakan nelayan kecil dan nelayan tradisional dengan nelayan skala besar, yakni nelayan yang menggunakan perahu di atas 10 gross tonnage. Padahal nelayan kecil dan nelayan tradisional selama ini diperlakukan secara khusus oleh Undang-Undang Perikanan karena mereka ramah lingkungan dan tidak mengeksploitasi sumber daya perikanan.
Kedua, rancangan omnibus law ini menguatkan posisi tata ruang laut, sebagaimana diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Sampai saat ini banyak provinsi yang ytelah merampungkan pembahasan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Artinya,masih ada beberapa provinsi yang belum menyelesaikan pembahasan peraturan zonasi yang merupakan tata ruang lautnya.
Namun, dari 22 peraturan zonasi yang telah disahkan, ruang hidup masyarakat pesisir yan ikkg merupakan pemegang hak utama tak mendapatkan porsi yang adil. Peraturan zonasi itu harus ditolak karena sejumlah alasan.
1.Tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan.
2. Alokasi ruang hidup masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata, konservasi, dan proyek lainnya.
3. Penyusunan peraturan zonasi hanyamemberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis.
4. Dengan banyaknya yang mengakomodasi proyek tambang, peraturan zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut.
5. Mencampuradukkan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan umum lainnya. Hal ini meningkatkan risiko nelayan ditabrak kapal-kapal besar.
Dengan peta permasalahan seperti itu, maka masa depan masyarakat pesisir, khususnya lebih dari delapan juta rumah tangga perikanan, akan terancam. Jadi tidak ada alasan bagi masyarakat Bangka Belitung yang berkerja di sektor kelautan untuk menerima Rancangan undangan undangan cipta lapangan kerja.
Dampak Omnibus law Terhadap Sektor Buruh
UU Tenaga Kerja:
Pasal 66: (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Dampak: Dengan dihilangkannya ketentuan ini, maka outsourcing bisa dilakukan bebas di semua jenis pekerjaan.
Terkait pasal 89 angka 16 dan 17 aturan yang mengenai pembatasan-pemabatasan outsourcing dihilangkan. Artinya outsourching diperbolehkan tanpa batasan jenis pekerjaan dan batasan waktu.
Terkait pasal 89 angka 20 perusahaan sektor tertentu dapat menetapkan jam kerja melebihi 8 jam perhari. Artinya menjadikan pekerja rentan lembur tidak berbayar.
Pesangon masalah aturan pesangon yang kualitasnya dianggap menurun dan tanpa kepastian. Nilai pesangon bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) turun karena pemerintah menganggap aturan yang lama tidak implementatif. Sebelumnya aturan mengenai pesangon ada di UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Adapun untuk klaster Ketenagakerjaan yang selama ini menjadi perdebatan, poin-poindalamomnibus lawmeliputi:
1.UpahMinimum
Di dalam Omnibus Law Upah Minimum (UM) dipastikan tidak akan turun serta tidak dapat ditangguhkan, terlepas dari apapun kondisi pengusahanya. Untuk kenaikan UM akan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah. UM yang ditetapkan hanya berlaku bagi pekerja baru dan berpengalaman kerja di bawah satu tahun, sedangkan kalau kompetensi mereka lebih akan bisa diberikan lebih dari UM. Sistem pengupahan mereka didasarkan pada struktur dan skalaupah. Adapun untuk industri padat karya, pemerintah dapat memberi insentif berupa perhitungan upah minimun tersendiri dengan alasan untuk mempertahankan kelangsungan usaha dan keberlangsungan bekerja bagi pekerja. Selain itu untuk skema upah per jam bisa diterapkan untuk jenis pekerjaan tertentu seperti konsultan, pekerja paruh waktu dan jenis pekerjaan baru di era ekonomi digital. Untuk memberi hak dan perlindungan bagi jenis pekerjaan tersebut, perlu pengaturan upah berbasis jam kerja yang tidak menghapus ketentuan upah minimum.
2. Pemutusan Hubungan Kerja
Pemerintah menyiapkan program baru bernama Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Artinya, Pegawai yang terkena PHK akan mendapatkan manfaat dari pemerintah. Kendati demikian, JKP ini tidak menggantikan jaminan sosial lain, melainkan merupakan tambahan dari pemerintah. Manfaat JKP berupa cash benefit, vocational training, dan job placement acces.Sebelumnya, Menko Airlangga juga sempat menyatakan, manfaat uang tunai yang diberikan kepada pegawai PHK bakal dilakukan selama enam bulan berturut-turut.Penambahan manfaat JKP dikatakan tidak akan menambah beban iuran bagi pekerja dan perusahaan. Selain itu, pekerja yang mendapatkan JKP tetap akan mendapatkan jaminan sosial lainnya berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kematian (JKm). Untuk memberikan perlindungan bagi Pekerja Kontrak, diberikan perlakuan dalam bentuk kompensasi pengakhiran hubungan kerja.
3. Pekerja Kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT)
Di dalam file Penjelasan Lengkap Omnibus Law dipaparkan, pekerja kontrak mendapatkan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap, antara lain dalam hal: Upah, Jaminan Sosial, Perlindungan K3, dan hak atas kompensasi akibat pengakhiran kerja atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Adapun untuk pekerja ekonomi digital yang sifatnya tidak tetap, maka akan mendapatkan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap. Sementara untuk pekerja outrsourcing (alih daya), baik yang bekerja sebagai pekerja tetap maupun kontrak diberikan hak dan perlindungan yang sama antara lain dalam hal upah, jaminan sosial, perlindungan K3 dan hak atas kompensasi akibat pengakhiran kerja atau PHK.
4. Waktu Kerja
Di dalam omnibus law di atur, waktu kerja paling lama 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu, dengan pekerjaan yang melebihi waktu kerja diberikan upah lembur. Adapun pelaksanaan jam kerja diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Untuk beberapa pekerjaan yang karena sifatnya, aturan tersebut mengecualikan jenis pekerjaan yang tidak bisa menerapkan jam kerja normal 8 jam per hari seperti pekerjaan paruh waktu yang kurang dari 8 jam per hari dan pekerjaan pada sektor-sektor tertentu (migas, pertambangan, perkebunan, pertanian dan perikanan) yang memerlukan jam kerja yang lebih panjang dari jam kerja normal. Jenis pekerjaan tersebut menerapkan jam kerja sesuai dengan kebutuhan kerja yang bersangkutan, namun tetap mengedepankan perlindungan bagi pekerja antara lain: upah, termasuk upah lembur, perlindungan k3, dan jaminan sosial,” tulis penjelasan RUU Omnibus Law tersebut.
Dampak Omnibus law Terhadap SektorAgraria
Dalam RUU cipta kerja seringkali mendapat kendala pada hak untuk mendapatkan tanah sebagai salah satu hambatan dalam berinvestasi di Indonesia. Pembangunan berbasis Agraria di sektor pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, pesisir-kelautan. Terdapat 5 pokok permasalahan RUU Cipta Kerja terkait Agraria yang akan membahayakan petani, masyarakat adat, menghambat realisasi reforma agraria di Indonesia. Sehingga perlu dikritisi dan diwaspadai bersama yaitu, diantaranya:
1. Memasukkan substansi RUU Pertanahan dalam RUU Cipta Kerja Materi-materi kontroversial RUU pertanahan diselipkan dalam RUU Cipta Kerja menuai protes dan penolakan dari masyarakat sipil.
2. RUU Cipta Kerjaakan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria di Indonesia.
a.Kemudahan dan prioritas pemberian hak atas tanah bagi kepentingan investasi dan kelompok bisnis dalam RUU Cipta Kerja berpotensi meningkatkan konflik agraria, ketimpangan dan kemiskinan struktural.
b. RUU Cipta Kerja berupaya menghilangkan pembatasan luas maksimum penguasaan tanah bagi perusahaan perkebunan, industri kehutanan dan pertambangan sehingga akan meningkatkan monopoli/penguasaan tanah. Mengenai perubahan terhadap Pasal 14dan penghapusan pasal 15 dan 16 Undang-Undang No. 39/2014.
c. Proses pengukuhkan kawasan hutan hanya menggunakan pendekatan penggunaan teknologi informasi dan satelit, tanpa melibatkan masyarakat atau pemerintah desa dan mempertimbangkan kondisi penguasaan tanah di lapangan. Hal ini akan mempermudah proses perampasan tanah masyarakat adat dan petani yang berada di pinggiran atau dalam klaim kawasan hutan.
3. RUU Cipta Kerjamempermudah perampasan, penggusuran, dan pelepasan hak atas tanah atas nama pengadaan lahan untuk kepentingan infrastruktur dan bisnis
RUU Cipta Kerja hendak merubah pasal-pasal dalam UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur Demi Kepentingan Umum
dengan dasar argumentasi hambatan pengadaan lahan bagi investasi dan kegiatan bisnis. Ini mengandung sejumlah persoalan:
a. Pengadaan tanah tidak dapat dilihat sebatas proses penyediaan tanah bagi pembangunan proyek infrastruktur semata, namun harus diperhitungkan dampak sistemik degradasi ekonomi, sosial dan budaya pada lokasi dan masyarakat terdampak.
b. Pemerintah menambahkan kepentingan investor tambang, pariwisata dan kawasan ekonomi khusus ke dalam kategori pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum, agar proses pengadaan tanah semakin mudah.
c. Meningkatkan peran swasta dalam pengadaan tanah. Dalam prakteknya banyak proses pengadaan tanah, pembebasan lahan dan penetapan ganti kerugian yang dijalankan secara tidak transparan dan berkeadilan oleh pemerintah dan pemilik proyek. Meningkatkan peran dan kewenangan swasta hanya akan semakin menempatkan posisi masyarakat dalam situasi rentan ancaman pengukuran dan penggusuran paksa, atau menjadi korban korupsi dan manipulasi dalam tahap-tahap proses pengadaan tanah. Kewenangan pemerintah dalam pengadaan tanah harus tetap dipegang penuh sesuai asas umum pemerintahan yang baik.
d. RUU Cipta Kerja memudahkan proses pengadaan tanah dengan berdasarkan “penetapan lokasi” suatu pembangunan proyek pemerintah, dimana AMDAL, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang di luar kawasan hutan dan luar kawasan pertambangan, di luar kawasan gambut/sepadan pantai dan kajian dampak ekonomi-sosial masyarakat tidak perlu dipenuhi oleh perusahaan yang memerlukan tanah.
e. Pengadaan tanah sering kali mengesampingkan prinsip keadilan karena bagi pihak yang menolak bentuk dan besaran ganti rugi, prosenya dititipkan di Pengadilan Negeri. Sehingga mempermudah proses penggusuran tanah masyarakat.
4. RUU Cipta Kerja Mempercepat Alih Fungsi Tanah Pertanian di Indonesia
Tanah pertanian dan jumlah petani akan semakin menyusut. Demi investasi non-pertanian RUU Cipta Kerja bermaksud melakukan perubahan terhadap tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutanuntuk mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian pangan untuk kepentingan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), real estate, tol, bandara, sarana pertambangan dan energi. Kemudahan proses perizinan, seperti dihapusnya keharusan kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah akan mempercepat terjadinya perubahan lanskap tanah pertanian di Indonesia. Bisa dibayangkan tanpa RUU Cipta kerja saja, tercatat dalam 10 tahun (2003 –2013) konversi tanah pertanian ke fungsi non-pertanian per menitnya 0.25 hektar dan 1 (satu) rumah tangga petani hilang –terlempar ke sektor non-pertanian. Terjadi penyusutan lahan yang dikuasai petani dari 10,6 % menjadi 4,9 %, guremisasi mayoritas petani pun terjadi dimana 56 % petani Indonesia adalah petani gurem. Menurut laporan Kementan, berdasarkan hasil kajian dan monitoring KPK terkait Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), menyebutkan luas lahan baku sawah, baik beririgasi maupun non irigasimengalami penurunan rata-rataseluas 650 ribu hektar per tahun.
Jika laju cepat konversi tanah pertanian ini tidak dihentikan, bahkan difasilitasi RUU Cipta Kerja maka tanah pertanian masyarakat akan semakin menyusut, begitu pun jumlah petani pemilik tanah dan petani penggarap akan semakin berkurang jumlahnya akibat kehilangan alat produksinya yang utama yakni tanah. Mata pencaharian petani akan semakin tergerus.
5. RUU Cipta Kerja Memperkuat Potensi Kriminalisasi dan Diskriminasi Hak
Terhadap Petani dan Masyarakat Adat
Catatan tahun 2019 KPA mencatat, sepanjang tahun 2019 saja terjadi 259 kasus penangkapan petani, masyarakat adat dan pejuang hak atas tanah.Jika diakumulasi selama 5 tahun terakhir ada 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya.
Melalui RUU Cipta Kerja, ancaman kriminalisasi dan diskriminasi hak atas tanah bagi petani dan masyarakat adat semakin menguat, karena pemerintah hendak memperkuat Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Padahal, dua UU ini terbukti sudah banyak mengkriminalkan petani dan masyarakat adat yang berkonflik dengan kawasan hutan.
Misalnya perubahan atas UU P3H (Pasal 82, 83 dan 84) soal ancaman pidana kepada orang-perorangan yang dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, sengaja atau tidak sengaja membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong dan membelah pohon tanpa perijinan dari pejabat yang berwenang dalam kawasan hutan dengan ancaman pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 5 tahun. Atau denda sebesar 500 juta -2,5 miliar. Pasal-pasal tersebut dapat dengan mudah digunakan untuk menjerat petani, masyarakat adat, dan masyarakat desa yang masih berkonflik dengan dengan perusahaan atau negara akibat penunjukkan atau penetapanKawasan hutan secara sepihak.
Kemudian perubahan pasal 15 UU Kehutanan, dalam pasal 37 RUU Cipta Kerja soal kemudahan proses pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan hanya dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit. Ini akan menambah daftar panjang desa-desa dankampung yang ditetapkan begitu saja sebagai Kawasan hutan, tanpa partisipasi masyarakat, sementara masih ada 20 ribu lebih desa diklaim sebagai Kawasan hutan. Perubahan UU Kehutanan (Pasal 50 misalnya), berpotensi kuat mengkriminalkan masyarakat karena tuduhan merambah kawasan, melakukan penebangan pohon, memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan karena tidak memiliki hak atau persetujuan dari pejabat yang berwenang dan mengembalakan ternak di Kawasan hutan.
Perubahan UU di atas dapat menimbulkan kontradiksi regulasi yang baru dengan putusan MK No. 35/2012, terkait putusan hutan adat bukan lagi hutan negara dan putusan MK No. 95/2014 dimana masyarakat di dalam hutan berhak
menggarap tanah dan memanfaatkan hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu UUPA 1960 pun menjamin hak dan akses masyarakat untuk memperoleh manfaat dari hasil hutan. RUU Cipta Kerja jika disahkan akan meningkatkan praktek-praktek kriminalisasi petani dan masyarakat adat di sektor agraria, utamanya kehutanan.
Berdasarkan 5 pokok masalah di atas, kami menyimpulkan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Konstitusi, UUPA 1960dan TAP MPR IX/2001.RUU focus pada kemudahan bagi perusahaan dan investor skala besar di seluruh sektor agraria (pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, pesisir dan pulau-pulau kecil, properti dan infrastruktur), sehingga abai terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria yang telah dijamin Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
Lebih lanjut, RUU ini akan melahirkan kontradiksi baru dengan prinsip-prinsip mendasar dari Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). Sebab, sebagai terjemahan langsung dari Pasal 33 Ayat (3), UUPAmewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perorangan maupun secara gotong royong. Sementara semangat “Omnibus Law” yang terpusat semata pada kepentingan investasi skala besar dapat menyingkirkan hak-hak atas tanah petani, masyarakat adat dan masyarakat miskin dari wilayah hidup mereka.
Kesimpulan
Kajian Isu dan Strategi DEMA IAIN SAS Bangka Belitungmenyimpulkanbeberapa AlasanBABEL untukmenolak Omnibus Law Cilaka :
1. Melegitimasi investasi perusak lingkungan yang mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan dan mensejahterakan.
2. Penyusunan RUU CILAKA cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi masyarakat sipil, dan mendaur ulang pasal Inkonstitusional.
3. Sentralisme kewenangan yaitu kebijakan ditarik ke pemerintahan pusat yang mencederai semangat Reformasi.
4. Celah Korupsi melebar akibat mekanisme pengawasan yang dipersempit dan penghilangan hak gugat oleh rakyat.
5. Perampasan dan penghancuran ruang hidup rakyat.
6. Percepatan krisis lingkungan hidup akibat invsetasi yang meningkatkan pencemaran lingkungan, bencana ekologis (Man-Made disaster), dan kerusakan lingkungan.
7. Menerapkan perbudakan modern lewat sistem fleksibilitas tenaga kerja berupa legalisasi upah dibawah upah minimum, upah per jam, dan perluasan kerja kontrak/outsourching.
8. Potensi PHK massal dan memburuknya kondisi kerja.
9. Pendidikan untuk menciptakan tenaga kerja murah bagi industri sejalan dengan masifnya investasi.
10.Memiskinkan petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan anak, difabel, dan kelompok minoritas keyakinan, gender dan seksual.
11. Kriminalisasi, represi, dan kekerasan Negara terhadap rakyat, sementara Negara memberikan kekebalan dan keistimewaan hukum kepada para pengusaha