Yang Kita Kenal Dari Mahasiswa

by -

“Belajar dan bersekolah adalah untuk memahami kehidupan, memahami bagaimana realitas eksistensial dikonstruksi, memahami bagaimana seharusnya hidup di dan bersama dunia, dan bagaimana menjadi subjek di tengah-tengah perubahan sosial, jika tak begitu, sekolah itu, alangkah lebih baiknya, jika tak bersekolah.”

SEBAIT kalimat di atas yang ditulis oleh M. Agus Nuryatno dalam buku Mazhab pendidikan kritis : menyingkap relasi pengetahuan, politik, dan kekuasaan, haruslah menjadi renungan bagi mahasiwa.

Mahasiswa berasal dari kata maha yang berarti besar, agung dan siswa yang berarti orang yang sedang belajar di institusi, dalam hal ini pendidikan tinggi. Dari definisi tersebut mahasiswa memikul tanggung jawab besar dalam melaksanakan fungsinya sebagai kaum muda terdidik yang harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan masa depan. Dengan sifat dan watak yang kritis, ketajaman intelektual, indepedensi, serta energi yang besar. Kelompok mahasiswa selalu identik dengan perubahan sosial di masyarakat.

Di dalam dimensi sosial saat ini, dengan penetrasi budaya konsumeris lintas dunia yang dibawa oleh arus pasang globalisasi, telah membuat mahasiwa sekarang cenderung tidak peduli dengan keadaan sosial yang ada di sekitarnya. Sikap hidup atau gaya hidup hura-hura pun telah mengakar pada tiap-tiap kehidupan mahasiswa dan telah cenderung membudaya.

Baca juga:  Rezim Jokowi; Indonesia dipimpin Machiavelli; Matinya demokrasi.

Setelah hampir 24 tahun masa reformasi, banyak sekali kegundahan rakyat terhadap aktivisme gerakan mahasisawa. Mitos mahasiswa sebagai agent of change menjauh dari realita yang ada. Para mahasiswa lebih senang dan bangga jadi juru tepuk tangan di acara-acara TV atau duduk manis di pusat perbelanjaan, bahkan nongkrong di tempat modern yang begitu gemerlap dan jauh dari kesulitan hidup rakyat kecil. Di sana mereka dapat leluasa berbicara tentang artis idola, film popular serta trend atau mode pakaian terbaru, dan tak lupa mencibir setiap kali ada demo yang memacetkan jalan atau tak terima ketika upah buruh naik yang membuat para buruh hidup layak.

Mahasiswa lupa menyadari perannya sebagai agen perubahan sosial. Kita Mahasiswa, Kita harus sadar kita siapa. Peran-peran sebagai Direct of Change, Agent of Change, Iron Stock, Moral Force, dan Social Control perlu diperhatikan pula. Tidak ada lagi yang terjun ke arena pergulatan sosial yang menantang dan menjanjikan, keengganan melebur bersama dengan rakyat yang rindu keadilan atau bahkan berkolaborasi menciptakan sebuah gerakan bersama masyarakat. Kita seolah ingin mempertegas status kita sebagai middle class elite, sebuah kelas yang, kata Karl Marx, dipandang serupa dengan elite borjuis. Kita memang sudah benar-benar tinggal di menara gading, hingga suara-suara masyarakat yang tertindas oleh sistem hanya terdengar sayup-sayup sampai.

Baca juga:  Pemerintah Desa Bentaian Jaya Sambut Mahasiswa KKN Kelompok 5 IAIN SAS BABEL 2024

Apa mandat perubahan yang mereka bawa sehingga banyak dari mereka yang dulu ‘mahasiswa berani’ jadi ‘mahasiswa pengikut’. Bukan hanya itu mahasiswa jadi pencuri. Kenapa mahasiswa yang dulu idealis kini jadi oppurtunis? Bahkan banyak di antara mereka jadi perpanjangan tangan kepentingan kaum borjuasi.

Di sisi yang lain gerakan mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan cenderung tersandera dengan isu-isu elit yang menyetir media massa nasional. Mereka seringkali terjebak pada romantisme masa lalu, seperti seorang ABG yang ditinggal kekasihnya kemudian gagal move-on. Prestasi bagi mereka adalah ketika berhasil membuat event besar dengan mendatangkan artis papan atas. Coba hitung berapa banyak organisasi mahasiswa yang tetap berada di rel awalnya untuk mengasah para intelektual muda yang mampu memperjuangkan kehidupan rakyat dan mengkritisi penguasa?

Baca juga:  Apa sih Pentingnya Gabung Organisasi Kampus?

Problematika tersebut bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit (ahistoris). Tetapi tak dapat dilepaskan pada akar sejarah. Banyak pengamat menganggap hal ini adalah buah dari neoliberalisme yang menyebabkan terjadinya komersialisasi pendidikan atau analisa budaya yang melihat karena pengaruh habitus. Namun analisa tersebut mengandaikan mahasiswa sebagai makhluk yang tak bergerak yang dapat disetir kesana kemari. Padahal mahasiswa adalah manusia yang berfikir, berhasrat dan bergerak (hidup). Itu adalah faktor eksternal sedangkan faktor internal adalah tentang dinamika gerakan di tubuh organisasi mahasiswa ini.

 

Nama Penulis: Merajut Asa