Tersesat di Jalan Yang Benar

by -

Profesor, adalah sebuah gelar yang saya canangkan di awal sebagai sebuah tujuan akhir, beratas namakan kesuksesan. Gelar khayalan itu terukir pada sekolah dasar, masa di mana tak banyak hal yang dipikirkan. Setinggi-tingginya cita-cita itu disebutkan, sebatas mengetahui profesor itu keren. Beranjak ke jenjang putih biru, standar yang ada mulai menurun dengan meningkatnya cara berpikir, membuat gelar profesor berubah menjadi perantara Tuhan sebagai penolong nyawa, yakni seorang dokter. Walaupun dalam artian bukan berarti profesor tidak terjangkau, tetapi lebih berat rasanya untuk menjangkau itu.

Kemudian masa putih abu-abu tiba, di fase ini masih bertahan pada pilihan cita-cita sebagai dokter. Untuk memuluskan harapan itu, jurusan ‘Ilmu Pengetahuan Alam’ lah menjadi tempat berlabuh saya. Kalau boleh saya bercerita, kenapa alasan saya ingin menjadi dokter, ialah statement ibu saya yang termasuk juga harapannya. Statement yang saya maksud, bahwasannya ibu saya berharap anak-anaknya menjadi guru dan dokter. Di sisi lain, saya mengatakan dengan yakin kepada diri saya sendiri untuk tidak ingin menjadi guru. Saya takut tidak bisa bertanggung jawab akan murid saya, tentang apa yang saya ajarkan. Maka pilihan selain guru adalah dokter untuk memenuhi harapan ibu saya.

Baca juga:  Indahnya Keajaiban

Bergandengan dengan hal itu, kakak perempuan saya telah menyelesaikan studi S1 nya. Selepas studinya, Alhamdulilllah ia diterima sebagai seorang guru di salah satu Sekolah Menengah Pertama. Yang berarti salah satu dari salah dua harapan ibu saya sudah tercapai, agar anaknya menjadi seorang guru dan seorang dokter. Maka saya mengambil keyakinan untuk memenuhi cita-cita ibu saya yang satunya yakni menjadi seorang dokter, di tambah dengan beasiswa kedokteran yang telah saya dengar sedari SMP, yang di adakan pemerintah kabupaten.

Dua tahun bergemul dengan pelajaran-pelajaran makhluk hidup, kimia, matematika, dan fisika yang berat, seketika terasa lebih berat saat ingin beranjak ke kelas akhir SMA. Beasiswa yang menjadi mimpi penolong menjadi dokter, tiba-tiba hilang dari peredaran pemerintah kabupaten. Mirisnya lagi mereka yang sedang berkutat dalam beasiswa itu, juga di berhentikan dalam masa pendidikannya. Harapan pun pupus seketika, karena jika menggunakan biaya pribadi untuk menjadi dokter, sudah menjadi rahasia umum biaya pendidikan dokter begitu besar.

Selepas itu, pindah haluan adalah cara terbaik dalam benak yang muncul. Haluan berikutnya yakni mengambil sekolah kedinasan, sekolah yang memberikan beasiswa penuh dan ketika selesai dari pendidikan tersebut, sudah menjadi pegawai negeri sipil serta mendapatkan pekerjaan tetap. Dengan persyaratan harus mempunyai badan ideal untuk lulus seleksi tes sekolah kedinasan, saya dengan postur bonsor bersusah payah menurunkan sebanyak 12 kg berat badan agar dapat mengikuti tes tersebut.

Baca juga:  Cinta Risa

Namun takdir yang tertulis bukan disana tempat saya melanjutkan pendidikan. Dari berbagai banyak pilihan, kapal pendidikan lanjutan saya berlabuh pada IAIN SAS Abdurrahman Shiddiq Bangka Belitung di prodi PBA. Padahal sejak SMA saya mengatakan bahwa tidak ingin menjadi guru, takut apa yang saya ajarkan tidak bisa saya pertanggung jawabkan. Tapi mau dikata apa, perjuangan pada pilihan lain sudah di usahakan, tapi takdir tidak mengiyakan pilihan tersebut. Guru sekarang orientasi utama pada jurusan pendidikan ini. Dan saya harus berusaha belajar dari awal mengenai bahasa Arab, karena saya bukan alumni dari pondok pesantren.

Awal semester, menikmati menjadi yang katanya gelar sebagai mahasiswa. Sembari berjalan waktu saat perkuliahan, perkataan ‘salah jurusan’, ‘bukan pilihan saya, tapi pilihan orang tua’, ‘susah sekali di jurusan ini’, termasuk saya lelah dengan jurusan pilihan saya. Menjadi penghambat bahkan awal berakhirnya perjuangan dalam pendidikan lanjutan. Kita sering membandingkan kesusahan kita dengan kemudahan orang lain, kita tidak bersyukur atas nikmat dan takdir yang Allah tetapkan untuk kita.

Baca juga:  Mahkota Surga

Untuk kita semua, kita ada, kita mendapatkan ini, menjalankan itu, semua sudah tercatat rapi di Lauh Mahfuzh. Sekarang bukan saatnya menyesali apa yang kita pilih saat melanjutkan pendidikan, tetapi waktunya menerima itu, mensyukuri pilihan Allah yang terbaik untuk kita. Setiap jurusan punya masalah sendiri, kita mempelajari apa yang belum kita ketahui di dunia pendidikan yang kita lalui sebelumnya. Kita punya ukuran yang berbeda, kebahagiaan mereka di jurusan lain, bukan berarti tak ada kelelahan disana. Mungkin tawa mereka hanya topeng akan kesusahan yang mereka alami juga. Kita masuk di jurusan yang tidak sesuai dasar kita, itu memang sulit. Tapi akan lebih sulit jika kita tidak menerima jurusan apa yang terbaik menurut Allah.

Oleh: Muhlis Annas