Pergejolakan Antara Hasrat Dalam Diri VS Luar Diri Di Kalangan Milenial

by -
Foto By :Rokanhulu

 

Era sekarang ini yang lebih dikenal era milenial bisa dikatakan sebagai peradaban modern yang dimana semua hal serba cepat, sehingga membuat interaksi sosial menjadi lebih kompetitif. Interaksi sosial yang kompetitif ini semakin hari semakin terasa, layaknya seorang yang berada di jurang terjal yang didepannya berlian berkilau. Tentunya ia harus memperhatikan langkah demi langkah agar selamat selama perjalanan dan berhasil mendapat berlian tersebut. Namun, jangan sampai terlambat sehingga diambil orang lain. Analogi diatas seolah menggambarkan apa yang dirasakan kalangan milenial saat ini terutama yang masih duduk di bangku sekolah atau perkuliahan.

Beratnya kompetisi yang dijalani terkadang membuat seseorang merasa telah salah memilih jalannya, sehingga muncul istilah putus di tengah jalan atau berhenti melakukan apa yang telah dimulai. Hal ini bisa kita lihat banyak mahasiswa berhenti kuliah sebelum lulus. Namun, ada juga walau sudah lulus masih susah mendapat pekerjaan atau sudah mendapat pekerjaan namun tidak sesuai latar belakang pendidikan yang diambil.

Kembali ke dunia perkuliahan. Dewasa ini dari hasil survei, mengenai jurusan yang diambil, terdapat fakta bahwa seseorang yang mengambil suatu jurusan karena arahan orangtua, kerabat, bahkan ikut-ikutan saja namun tidak sedikit juga mengatakan bahwa memang kemauan dari diri sendiri. Ini pasti menjadi polemik pada setiap insan apalagi ini berhubungan dengan masa depan. Sukses atau hancurnya masa depan seseorang itu bergantung apa lintasan yang ia pilih saat ini.

Baca juga:  DEMA IAIN SAS BABEL Tanggapi Hari Buruh di Momentum Fitri, Kembalikan Lagi Harkat dan Martabat Buruh

Penentuan lintasan seseorang berbeda-beda bahkan bisa dikatakan cukup unik dan dibumbui pertentangan didalamnya. Pertentangan yang terjadi itu karena adanya faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Faktor internal (dari dalam diri) ini berprinsip pemenuhan kesenangan (pleasure principle) yang terkadang tidak realistis. Sedangkan faktor eksternal (luar diri) berlandaskan moralitas dan idealitas ini didapatkan dari norma, nilai, doktrin yang berkembang seperti halnya doktrin orang tua sendiri. Dari itu membuat pergejolakan dilema dalam jiwa, yang mana menimbulkan pertanyaan memilih untuk memenuhi hasrat dalam diri atau luar diri. Penentuan ini akan mana lintasan yang akan diambil tidak bisa dianggap main-main karena ada harga yang harus dibayar. Maka dari situlah dewasa ini harus memperhatikan hal tersebut terutama pada kalangan milenial.

Manusia dilahirkan sebagai makhluk yang bebas. Bebas disini diartikan sebagai hal yang positif untuk menentukan jati diri sehingga mendapat eksistensi. Maka dari situlah pada kalangan milenial sekarang ini populer istilah passion. Passion atau yang dapat diartikan sebagai hasrat atau ambisi pada setiap diri manusia berupa minat yang sangat besar akan suatu hal. Ini bisa didapatkan dari pengalaman-pengalaman yang ia dapatkan semasa bergulirnya waktu. Passion bisa dikatakan berada di alam bawah sadar manusia itu sendiri dan selalu merongrong untuk dipenuhi.

Baca juga:  Kunjungan GenBI Komisariat IAIN di Sambut Baik Oleh Wakil Rektor III

Lahirnya passion bisa dewasa ini ketahui seperti contoh sebagai berikut, seseorang pria yang semasa kecil terus disuguhkan pengetahuan mengenai dunia kuliner baik secara langsung dengan diajarkan memasak, membaca buku, menonton acara kuliner maupun tidak langsung dengan hidup dilingkungan yang keluarganya berkutat didunia kuliner. Sehingga terjadi titik balik dimana ia berpikir bahwa dunia kuliner adalah lintasan yang ia pilih untuk masa depannya. Pemenuhan diri pasti selalu berdampingan dengan pertentangan dan ini dari luar yang biasanya orang tua karena alasan tertentu tidak bisa mengizinkan. Dan orang tua mengarahkan lintasan yang harus dipilih karena menimbang berbagai sisi idealitas.

Pengarahan dari luar membuat terlahirnya dua pilihan, memenuhi hasrat diri dengan memberontak atau ikut arahan tersebut walaupun tidak sukai. Jika dikembalikan pertanyaan mana pilihan yang baik itu tergantung dari sudut pandang mana yang diambil. Pilihan pertama, bisa jadi baik juga buruk. Sisi baiknya seseorang dapat memenuhi hasratnya sehingga ia mejalani secara sukarela dan tidak terpaksa. Sisi buruknya karena pemberontakan terjadi akan membuat hubungan kedua belah pihak akan berantakan sehingga perjalanan kurang atau bahkan tidak diisi dengan dukungan dari pihak kedua.

Baca juga:  76 Tahun Kemerdekaan: Kualitas Pendidikan Mengalami Penurunan

Begitu juga halnya dengan pilihan kedua dalam tulisan sebelumnya, sisi baiknya terlihat dari dapatnya dukungan yang lebih oleh pihak kedua. Namun sisi buruknya tidak dipenuhi hasrat diri membuat terbentuknya lubang di jiwa yang sewaktu-waktu akan menjadi perangkap kelak dikemudian hari. Kedua pilihan tersebut yang bagaikan 2 bilah sisi mata pisau ini harus segera diatasi dengan penangan diri. Pemilihan satu diantara dua tersebut haruslah dijalankan dengan komitmen.

Komitmen adalah suatu hal yang dipertanggung jawabkan atas segala pilihan yang diambil. Komitmen yang berupa dedikasi atas kewajiban yang terikat pada pilihan tertentu. Pilihan yang diambil baik dalam maupun luar harus dijalankan dengan komitmen agar bisa mencapai tujuan. Komitmen disini juga bisa dikatakan sebagai menikmati setiap arus proses yang dilewati. Perlu diingat bahwa proses sama pentingnya dengan hasil. Jika suatu proses dijalani dengan suka cita percayalah akan tergapai hasil yang memuaskan. Ini sangat berlaku untuk pilihan pertama dengan memenuhi passion atau hasrat diri dan pilihan kedua memenuhi hasrat luar diri atau orang tua. Keduanya akan mendapat hasil yang maksimal apabila dalam prosesnya harus dijiwa dengan komitmen yang tingi tanpa komitmen yang tinggi akan kesia-sia yang terjadi yakni putus di tengah jalan sebelum mencapai titik puncak yang harus digapai.

Penulis: Ghiffari

EditorĀ  : Hilhamsyah