Pada 23 Desember 1994, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumumkan kepada dunia bahwa tiap tanggal 9 Agustus diperingati sebagai Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia. Tanggal ini menandakan hari pertemuan pertama Kelompok Kerja untuk Penduduk Pribumi Sub-Komisi Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia pada tahun 1982.
Melalui Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, masyarakat secara global diingatkan kembali untuk merefleksi peningkatan kesadaran dan melindungi hak-hak populasi masyarakat adat dunia. Esensinya, pada hari ini, orang-orang dari seluruh dunia didorong untuk menyebarkan pesan PBB tentang perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat.
Adanya peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia, mengindikasi adanya peran penting dari masyarakat adat yang harus terus distimulus. Hal itu dimaksudkan guna mengakui pencapaian dan sumbangan yang masyarakat adat berikan untuk memperbaiki isu-isu dunia, seperti perlindungan lingkungan.
Lalu siapa yang dimaksud sebagai “masyarakat adat”? Pengertian secara luasnya adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan yang sama dalam kelompok, tinggal di satu tempat karena genealogi atau faktor geologi. Mereka memiliki hukum adat mereka sendiri yang mengatur tentang hak dan kewajiban pada barang-barang material dan in-material. Umumnya masyarakat adat tidak pernah lepas dari kawasan adat baik berupa hutan ataupun laut. Hal ini kemudian menimbulkan mutualisme antar masyarakat adat dengan lingkungan hidup. Masyarakat adat yang telah lama tinggal di daerah sekitar kawasan hutan selalu berusaha menjaga kelestarian hutan dengan prinsip kearifan lokal. Tentunya prinsip ini selaras dengan UU No. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebagaimana pengertian kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Adanya pengelolaan lingkungan hidup secara lestari dapat dilihat dari pernyataan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) bahwa masyarakat adat hampir tidak ada yang terlibat dalam kasus illegal logging sebab masyarakat adat selalu berusaha menanamkan nilai-nilai filosofis. Bagi komunitas adat hutan sangatlah penting. Fungsi lain hutan bagi komunitas adat sama seperti fungsi kulkas bagi masyarakat kota yaitu sama- sama digunakan untuk menyimpan makanan.
Walaupun memiliki peran strategis guna lestarian lingkungan dan nilai-nilai kearifan lokal, nyatanya hal tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik. Justru, dewasa ini eksistensi dari masyarakat adat mulai termarjinalkan baik secara kawasan ataupun hak-hak atas kedaulatannya. PBB mencatat, lebih dari 70 persen populasi dunia tinggal di negara-negara dengan ketimpangan pendapatan dan kekayaan yang meningkat, termasuk masyarakat adat yang sudah menghadapi tingkat kemiskinan yang tinggi dan kerugian sosial-ekonomi yang akut.
Tingkat ketimpangan yang tinggi umumnya terkait dengan ketidakstabilan kelembagaan, korupsi, krisis keuangan, meningkatnya kejahatan dan kurangnya akses terhadap keadilan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Bagi masyarakat adat, kemiskinan dan ketidakadilan yang parah cenderung menimbulkan ketegangan dan konflik sosial yang intens.
Tidak perlu mencari contoh yang jauh-jauh, di Bangka Belitung banyak pula kasus atau konflik yang membuat masyarakat adat termarjinalkan. Bila merujuk pada pengertian dari masyarakat adat tersebut, tentu sangat banyak masyarakat adat yang bertebaran di berbagai tempat di Bangka Belitung. Kuantitas masyarakat adat ini justru tidak berbanding lurus dengan kebijakan pemerintah sekarang yang lebih mereduksi kedaulatan masyarakat adat dan kelestarian lingkungan hidup yang menjadi penopang kehidupan masyarakat adat.
Munculnya Hutan Tanam Industri (HTI) di berbagai kawasan hutan Bangka Belitung, membawa arus degradasi terhadap masyarakat adat. Begitu pula adanya kawasan pertambangan laut yang sering kali memakan laut yang menjadi wilayah hidup dari masyarakat adat pesisir. Masyarakat adat dan lingkungan hidup tentunya memiliki hubungan holistis yang kuat. Dari kedua hal tersebut tidak dapat berdiri sendirian. Karena nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Bangka Belitung berasal dari semangat untuk terus melestarikan lingkungan hidup. Bila eksistensi dari masyarakat adat ini hilang artinya ada kawasan hutan atau laut yang rusak. Sebab hutan dan laut lestari merupakan napas kehidupan masyarakat adat. Hal itu dapat tumbuh dari sikap penghormatan sesama makhluk hidup baik itu berupa pohon, sungai, laut, dan tanah.
HTI dan penambangan laut adalah kebijakan-kebijakan yang tidak membawa semangat kelestarian lingkungan hidup sebagaimana esensi dari Hari Masyarakat Adat Sedunia. Sebagai contoh, walau masyarakat adat Suku Jering dan Suku Lom diakui secara formal oleh pemerintah tetapi masyarakat adat tersebut tidak diberikan kedaulatan yang besar atas hutan dan laut. Begitu pula dengan masyarakat adat di tempat-tempat lain di Bangka Belitung. Padahal anatara masyarakat adat dan lingkungan hidup memiliki hubungan holistis sehingga tidak dapat berdiri sendiri. Artinya semangat penyampaian hak-hak masyarakat adat yang dicetuskan oleh PBB belum terimplementasi secara total di kawasan Bangka Belitung.
Degradasi masyarakat adat bukan hanya berakibat apda hilangnya masyarakat adat tersebut tetapi juga nilai-nilai dari adat istiadat yang akrab dengan lingkungan hidup seperti beume (berladang), sumber makanan dari hutan, pengetahuan obat-obatan, pengetahuan tentang hutan dan laut serta sejarah dan nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat tersebut.
Berangkat dari semua narasi yang telah disampaikan, jelas masih adanya upaya-upaya marjinalisasi masyarakat adat, yang dilakukan langsung ataupun tanpa disadari oleh pemerintah. Semangat yang dibawa oleh Hari Masyarakat Adat Sedunia adalah ikhtiar-ikhtiar guna mempertahankan eksistensi dari masyarakat adat yang kemudian beriringan dengan nilai-nilai kearifan lokal baik dari segi spiritual, sosial, dan lingkungan hidup. Mempertahankan masyarakat adat berarti juga menjaga kelestarian lingkungan. Karena antar lingkungan hidup dan masyarakat adat ada sebuah nilai yang kemudian melahirkan nilai-nilai luhur yang secara ikatan adalah holistis.
Penulis: Ramsyah (Penulis Buku)