“Kehidupan adalah perjalanan, tanpa peta kamu hanya bisa mengikuti jalan yang tampaknya paling benar”(Franz Kafka, kastil), Nampaknya kutipan ini sangat relevan digunakan terhadap situasi organisasi kemahasiswaan, yang seharusnya peta didalam kampus sudah sangat jelas terpampang, namun mereka lebih memilih tidak membuka peta tersebut, dan hanya mengikuti jalan yang tampaknya benar saja.
Terdapat teori yang cukup populer dalam pembagian sistem kekuasaan, teori tersebut dikembangkan oleh Montesque yang merupakan filsuf asal Prancis. Teori yang cukup populer itu kerap dikenal dengan sebutan Trias politica yang berasal dari bahasa Yunani yaitu tri yang berarti “tiga” as yang berarti “pusat” dan politica yang artinya “kekuasaan” montesquieu menjelaskan Trias politica memiliki wewenang dalam mengatur keseimbangan dan kesesuaian dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan saling lepas dengan kedudukan sederajat sehingga dapat saling mengawasi dan mengimbangi satu sama lain, yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Organisasi Kemahasiswaan yang telah dinobatkan sebagai miniatur negara juga menerapkan sistem Trias politica sebagai acuan dalam menjalankan wewenang pada setiap kelembagaan yang ada, legislatif sebagai lembaga yang memiliki wewenang merencanakan anggaran, legislasi, dan melakukan controling pada setiap lembaga kemahasiswaan, sementara eksekutif yang bertugas untuk menjalankan kebijakan agenda kemahasiswaan, kemudian yudikatif yg memiliki wewenang dalam memutuskan dan bertanggung jawab terhadap pemangku kebijakan. Kemudian organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang legislatif adalah senat mahasiswa (SEMA)/dewan pengawas mahasiswa (DPM) Dan bagian yang bergerak di bidang eksekutif adalah dewan eksekutif mahasiswa (DEMA)/badan eksekutif mahasiswa (BEM).
Secara struktural keterlembagaan mempunyai ketua/wakil ketua barulah dibentuk sistem kepengurusan yang biasa disebut, kementrian atau divisi sebagai perpanjangan tangan dalam menjalankan tugas ketua dan wakil ketua, dengan program yang telah disusun setiap kementrian berdasarkan kesepakatan bersama. Dibentuknya organisasi kemahasiswaan diharapkan mampu menjalankan peranan lembaga secara komprehensif serta optimal terhadap program kerja yang diemban ataupun diamanahkan dengan bertujuan memafasilitasi, menginisiasi, pengembangan dan pembangunan mahasiswa, serta berkompeten pada keilmuan yang diampu.
Adapun fungsi organisasi berdasarkan sk dirjen pendis nomor 4961 yaitu berfungsi sebagai:
1. Untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa, menetapkan garis-garis besar program dan kegiatan mahasiswa
2. Wahana komunikasi antar sivitas akademika
3. Wahana pengembangan potensi mahasiswa sebagai insan akademis, calon ilmuwan intelektual yang berguna bagi masyarakat
4. Wahana pengembangan intelektual bakat dan minat, pelatihan ketrampilan, organisasi, manajemen dan kepemimpinan manusia
5. Sarana pengembangan dan pembinaan kader-kader agama dan bangsa yang berpotensi dalam melanjutkan kesinambungan pembangunan nasional
6. Sarana pemeliharaan dan pengembangan ilmu yang dilandasi oleh norma akademis, etika, moral dan wawasan kebangsaan.
Dalam proses pelaksaannya dapat ditinjau melalui fakta empiris dan melalui kajian-kajian objektif. organisasi kemahasiswaan saat ini, sema maupun dema cenderung tidak optimal dalam menjalankan fungsinya, sehingga dapat dikategorikan lembaga kemahasiswaan mengalami degradasi yang cukup jauh dari penerapan nilai-nilai yang terkandung didalam pedoman yang ada. Mirisnya pula Organisasi kemahasiswaan cenderung “ambil aman” dalam menjalankan peranannya dimana agenda kemahasiswaan yang dijalan hanya bersifat seremonial belaka. Jikalaupun demikian, barangkali teman-teman siswa di SMA jauh lebih mampu melaksanakannya, padahal mahasiswa memiliki satu predikat yang lebih tinggi dan mempunyai previlage serta relasi yang cukup luas.
Berdasarkan hal tersebut penurunan kualitas dari individu mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan menjadi gambaran, bahwa ketidakmampuan seorang organisatoris maupun anggota kepengurusan dalam menciptakan inovasi baru ataupun bersinergi dengan sumbangsih pemikiran dan menjaga independensi organisasi kemahasiswaan menjadi momok menakutkan yang harus diterima menjadi kenyataan. Sehingga hal itu pula yang mendorong sudah optimalkah individu-individu pada setiap keanggotaan yang terhimpun dalam kementrian/divisi sema ataupun dema menjalankan peranannya.
Agenda-agenda yg bersifat pencerdasan yang seharusnya menjadi cerminan dari lembaga kemahasiswaan sudah cukup bias dapat ditemukan, baik berupa diskusi kolektif, maupun publik, ataupun sebagai jembatan aspirasi mahasiswa untuk memudahkan komunikasi terhadap pihak birokrasi terkait kendala yang dihadapi oleh mahasiswa aktif secara administratif, misalkan kendala pemanfaatan sarana prasarana, kesulitan dalam membayar UKT, akses informasi yang tidak memadai, kekerasan seksual, dan keterbukaan publik dalam transparansi aliran pendanaan. Situasi yang terjadi saat ini di organisasi kemahasiswaan selaras dengan teori homo ludens yang dikemukakan oleh Johan Huizinga seorang filsuf dan juga sejarahwan kebudayaan asal Belanda, yan menafsirkan bahwasanya manusia adalah mahluk yang suka bermain (homo ludens) ketimbang mengedepankan keseriusan berfikir dalam kebijaksanaan (homo sapiens) dimana kondisi ini memang faktor lahiriah pada setiap manusia. Sedikit merujuk lebih jauh, Huizinga menegaskan pula terlalu banyak bermain-main menyebabkan suatu kondisi ketidakstabilan terhadap fokus keberlangsungan kehidupan dan bahkan berada dalam ambang batas kehancuran.
Menanggapi dari problematika yang terjadi, krisis pengambilan keputusan merupakan salah satu faktor penting yang harus segera dibenahi, hal ini merupakan sebuah prinsip utama dalam menjalankan kehidupan, sehingga pada saat penerapannya bisa teroptimalisasi dengan baik, terlebih lagi ketika sudah diamanatkan untuk memimpin di wilayah strategis, harus mampu mewadahi, memfasilitasi, mensejahterakan, bijaksana, mempunyai intelektualitas, kapabilitas, berintegritas, dan yang paling penting apabila dimintai pertanggungjawabkan bisa mempertanggungjawabkan nya.
Dinamika yang terjadi sudah seharusnya dibenahi sebelum dan sesudah menjalankan program kerja yang disinkronisasi dengan, thinking, planning, organizing, working, controlling, evaluation, guna meminimalisasi permasalahan yang kian memburuk. Tanpa berlarut-larut terhadap problem yang ada, evaluasi secara besar-besaran perlu dilakukan supaya tidak menjadi warisan di kepengurusan selanjutnya karena bila dibiarkan secara terus menerus dapat mengkhawatirkan situasi yang semakin busuk pula.
Dalam momentum transisi kepemimpinan yang sebentar lagi akan dirayakan melalui pesta demokrasi mahasiswa, Harapannya ialah lembaga kemahasiswaan harus mampu menghadirkan kepemimpinan yang transformasional, yang dapat menghadirkan sosok kepemimpinan yang mampu berkaca pada filosofi Ki Hadjar Dewantara yakni: Ing Ngarsa Sung Tuladha (didepan memberi teladan) Ing Madya Mangun Karsa (ditengah memberi karya/gagasan) Tut Wuri Handayani (dibelakang memberikan dorongan). Cukuplah ideal bila filosofi ini diterapkan pada sosok pemimpin yang mampu mengamalkannya diranah pendidikan kampus, karena kemudahan akses penerapannya yang akan semakin optimal bila diimbangi dengan komitmen dan konsentrasi penuh untuk menjalankannya secara komprehensif .
Perlu dipertegas, rilisnya sebuah tulisan ini bukan bertujuan untuk saling menjatuhkan tetapi sebagai bentuk ketegasan dalam upaya mawas diri membangun sinergitas bersama demi kemaslahatan umat, yang memang perlu diikhtiar kan secara masif di kepengurusan selanjutnya.
– Tiada perjuangan tanpa ikhtiar, dan tiada ikhtiar tanpa perjuangan.
“Free prior inform consen”
Penulis: Abim Sudarma (Mahasiswa)