17 Juli merupakan Hari Keadilan Internasional atau World Day for International Justice, tanggal itu dijadikan sebagai momentum untuk menyuarakan pentingnya penegakan keadilan, dan komitmen pemerintah atas penegakan keadilan yang menyeluruh. Peringatan Hari Keadilan Internasional tersebut diangkat dari Statuta Roma yang merupakan perjanjian internasional yang ditandatangani oleh konferensi diplomatik internasional di Roma, Italia pada 17 Juli 1998. Statuta Roma tersebut fokus terhadap peradilan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan kejahatan agresi.
Faktanya Statuta Roma telah diratifikasi oleh 123 negara di dunia walaupun Indonesia tidak termasuk kedalamnya. Adanya Statuta Roma membuat sebagian besar pihak kerap menggaungkan urgensi ratifikasi konvensi tersebut. Walau besarnya gaung penegakan keadilan namun dalam prosesnya kerap kali terganjal karena kepentingan politik, hukum, dan ketakutan. Hal-hal inilah yang setiap saat selalu mendegradasi penegakan keadilan.
Harapnya hari keadilan dunia menjadi momentum untuk memantik api penegakan keadilan. Walau tidak termasuk sebagai negara yang turut serta dalam statuta Roma tetapi esensi penegakan keadilan untuk kemanusiaan tidak bisa putus. Keadilan kemanusiaan adalah keniscayaan yang gairahnya ada pada tiap manusia. Oleh karenanya Indonesia harus memiliki sikap mendukung terhadap esensi ratifikasi statuta Roma.
Hal itu tentunya menjadi elemen krusial bagi Indonesia. Penegakan keadilan kudu diimplementasikan dalam bentuk komitmen untuk menjunjung tinggi prinsip penegakan hak asasi manusia (HAM). Yang di dalamnya juga terdapat niat baik untuk menyelesaikan kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Termasuk juga kejahatan berbasis gender.
Dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Global Peace Index 2020 Vision of Humanity dari Institute for Economic and Peace, pemajuan demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia mengalami penurunan yang sangat signifikan, turun enam angka pada rangking 49, dari 83 negara.
Hal ini dapat terjadi karena karena sepanjang tahun 2020, kebebasan sipil dan demokrasi kerap diwarnai dengan tindakan represif aparat terhadap masyarakat. Hukum yang tumpul ke atas dan tajam kebawah seperti halnya penggunaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menjerat mereka yang terlalu kritis. Penggunaan itu sering dilakukan melalui pasal 28 UU ITE terkait ujaran kebencian guna memukul kelompok oposisi pemerintah. Maraknya tindakan represivitas aparat dalam gelombang aksi demonstrasi mahasiswa, buruh, dan pelajar yang menolak pengesahan UU Omnibus Law. Kemudian yang turut serta mempertajam kemunduran demokrasi dan krisis HAM di Indonesia dengan adanya peristiwa tewasnnya enam Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Karawang dan Jalan Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020 silam. Peristiwa tersebut ditanggapi oleh Komnas HAM bahwa terdapat dugaan pelanggaran HAM. Namun yang disesalkan adalah, aparat keamanan yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat sipil malah bertindak secara sepihak. Melihat selama ini FPI aktif menjadi organisasi yang kritis terhadap pemerintah, dengan adanya peristiwa penembakan di KM 50 seakan-akan merupakan salah satu langkah untuk membungkam FPI.
Beralih dari suara-suara konflik yang terekspos media nasional, kita masuk ke tempat yang lebih kecil, jauh dari pusat pemerintahan dan kota-kota besar. Karena penegakan keadilan bukan milik mereka yang hidup di kota-kota besar tetapi juga kewajiban pemerintah daerah dan milik orang-orang di pelosok desa. Di sebuah provinsi kecil di sisi timur Pulau Sumatera, Bangka Belitung, sebuah tempat yang sumber daya alam lautnya sangat berlimpah. Tidak hanya itu, Bangka Belitung juga sebagai ladang mineral timah. Sayangnya anugerah sumber daya timah ini kadang membawa malapetaka karena konflik keserakahan. Pasalnya laut-laut yang kaya akan timah selalu diusahakan oleh kapitalis-kapitalis baik besar maupun kecil untuk terus dieksploitasi. Adanya kegiatan penambangan laut membuat nelayan-nelayan yang telah lama hidup sebagai pelaut harus termarginalkan hak memperoleh hidup, pekerjaan, dan lingkungan guna kelangsungan hidup mereka sebagai nelayan. Hal itu membuat Bangka Belitung tidak luput dari degradasi penegakan keadilan. Dewasa ini, titik gejolak konflik nelayan dan penambang tumbuh di berbagai sudut pesisir pantai Bangka Belitung. Belo Laut dan Pusuk di Kabupaten Bangka Barat. Teluk Kelabat, Matras, Tuing, dan Riau Silip di Kabupaten Bangka. Batu Belubang di Kabupaten Bangka Tengah. Hingga ke wilayah-wilayah pesisir di Kabupaten Bangka Selatan. Api-api pertikaian antara nelayan dan kegiatan penambangan timah seolah tidak pernah usai.
Bila melihat jejak perjalanan masyarakat Bangka Belitung, jauh sebelum timah pertama digali, yang kemudian menjadi komoditas dan mata pencarian lokal, masyarakat pesisir Bangka Belitung telah terlebih dahulu hidup menjadi nelayan. Hidup dan mati dari hasil laut. Hal ini didukung oleh kondisi Bangka Belitung sebagai daerah kepulauan yang memiliki laut luas dengan potensi yang kaya dengan ragam ikan dan biota laut lainnya. Memasuki peradaban timah hingga sekarang, wilayah dan hak untuk melakukan kegiatan melaut semakin dipersempit karena eksploitasi timah di laut. Hal tersebut diimplementasikan baik secara aturan yang formal maupun aktivitas langsung dilapangkan.
Dilihat dari sisi HAM yang fundamental melalui subtansi undang-undang, setiap warga negara Indonesia yang berarti juga nelayan di didalamnya, memiliki hak untuk hidup yang dijamin dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Selanjutnya HAM tersebut lebih diperjelas lagi melalui dasar hukum yang menjamin hak untuk hidup di Indonesia yang terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang berbunyi:
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Konflik pesisir antara nalayan dan penambang sering kali diberi solusi akhir berupa penyerahan wilayah laut kepada korporasi penambang yang kemudian nelayan akan mendapatkan kompensasi. Pada akhirnya nelayan juga terpaksa harus bekerja menjadi penambang baik secara legal maupun ilegal karena telah hilangnya wilayah tangkap nelayan. Bekerja menjadi nelayan adalah sebuah profesi yang juga layak untuk kelangsungan hidup. Nelayan tidak harus dipolitisasi menjadi penambang untuk melancarkan korporasi. Padahal dari sisi hak mendapatkan pekerjaan telah dijamin pada Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, menyebutkan bahwa:
“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Ayat tersebut memuat pengakuan dan jaminan bagi semua orang untuk mendapatkan pekerjaan dan mencapai tingkat kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bila dikaitkan dengan kondisi yang sedang terjadi di pesisir Bangka Belitung, dapat kita lihat kondisi abrasinya penegakan keadilan dari undang-undang tersebut.
Padahal, jauh sebelum adanya penambangan timah di pesisir pantai, warga setempat telah dari generasi ke generasi menjadi nelayan. Profesi menjadi nelayan telah menjadi akar budaya masyarakat pesisir. Dari sisi hak untuk hidup sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tentang HAM jelas bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Menjadi nelayan adalah hidup mati masyarakat pesisir. Dari poin ini saja jelas bahwa menjadi nelayan adalah sebuah hak yang juga telah dijamin oleh undang-undang. Oleh karenanya hal-hal yang turut mendukung kehidupan para nelayan juga harus pula dijamin. Menjadi nelayan tentu sangat bergantung dari laut. Kondisi laut sangat menentukan untuk hasil tangkap nelayan. Oleh karenanya selain hak hidup dan bekerja menjadi nelayan, para nelayan juga memiliki hak untuk memiliki laut yang lestari guna menopang hasil tangkap ikan. Hal ini selaras dengan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang menjamin Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Atas dasar keserakahan guna mendapatkan untung yang melimbah dalam kurun waktu relatif singkat, para korporasi bersama dengan politisi berupaya betul untuk menjadikan wilayah pesisir sebagaimana tempat-tempat yang telah disebut di atas untuk menjadi wilayah pertambangan. Hal ini secara administratif sangat memungkinkan dilakukan secara resmi. Walau demikian terjadi degradasi etika menghargai HAM, terutama hak nelayan untuk tetap dapat mencukupi kehidupan sebagai nelayan dan hak untuk memiliki laut yang lestari. Dari luasnya wilayah bibir pantai Pulau Bangka, hanya alasan keserakahan kapitalis yang membuat para penambang tidak menyingkir dari wilayah-wilayah kecil hidup para nelayan.
Melalui hari keadilan internasional, harapnya dapat kembali memupuk jiwa komitmen pemerintah dan tiap-tiap manusia untuk terus menegakkan Keadilan. Masih banyaknya konflik yang terjadi di tingkat pusat bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa menandakan banyaknya tugas-tugas kemanusiaan yang harus segera diselesaikan. Pemerintah jangan sampai menutup mata atas degradasi HAM yang tengah terjadi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Setiap komponen harus dibangun secara holistis baik dari subtansi aturan (undang-undang), penegak hukum, dan masyarakat itu sendiri.
Penulis: Ramsyah Al Akhab (Penulis buku)