May day atau hari buruh internasional yang diperingati setiap tanggal 01 Mei sejak tahun 1889 merupakan warisan perjuangan yang telah ditinggalkan oleh kelas buruh dalam menggaungan perjuangan rakyat yang menyangkut harkat dan martabat kelas buruh serta keluarganya, lebih dari itu peringatan hari buruh tepat pada tanggal 1 mei bukan hanya pemberian cuma-cuma dari para penguasa namun merupakan suatu perjalanan yang panjang akan perjuangan para kaum buruh dengan tetesan darah dan nyawa dalam mendapatkan hak mereka melalui perjuangan satu abad yang lalu guna mendapatkan 8 jam kerja perhari serta melepaskan diri dari belenggu perbudakan.
Sejarah mencatat bahwa kaum buruh di Indonesia bukan hanya melawan para kolonialisme dan para penguasa saja akan tetapi rezim anti rakyat yang melakukan penindasan terhadap kaum buruh melalui kebijakan dan regulasi harus dilawan agar mewujudkan apa yang menjadi citacita sebelumnya. Dalam Beberapa waktu terakhir problematika yang terjadi tidak terlepas dan memiliki keterkaitan sendiri dengan para kaum buruh yang sampai hari ini tak kunjung mendapatkan kesejahteraan serta perlakuan yang manusiawi.
Beberapa persoalan yang belum terpecahkan diantarnya seperti sistem kerja kontrak, upah kerja minimum, outsourching dan lain-lain yang dibungkus melalui undang-undang cipta kerja yang masih dalam proses revisi berdasarkan putusan MK pada 25 november 2021 lalu Yang terbukti cacat formil. Namun praktiknya UU tersebut tetap saja masih diberlakukan.
Sebagai korbannya hingga saat ini para kaum buruh serta keluarganya diera kepemimpinan jokowi yang ke-2 ini semakin merosot kedalam jurang penindasan dan jauh dari kata sejahtera dengan adanya UU no 11 tahun 2020 tersebut.
Lebih ironisnya lagi kaum buruh kembali dibebani setelah dikeluarkannya regulasi mengenai tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat jaminan hari tua. Dimana permenaker tersebut mengatur mengenai JHT (jaminan hari tua) yang baru bisa diambil di usia 56 tahun dengan catatan pensiun, meninggal, cacat total yang artinya ketika buruh mengalami PHK atau habis massa kontrak tidak boleh mencairkan JHTnya sebelum hal² diatas bisa dipenuhi, serta masih banyak persoalan lain yang berkaitan dengan kesejahteraan buruh yang sampai hari ini menjadi persoalan dalam hal inilah kegiatan kegiatan kampanye serta aksi demonstrasi masih tetap digalakan.
Dalam kondisi yang masih dalam tahap pemulihan ekonomi setelah pasca gelombang pandemi covid-19 semacam ini hal tersebut seharusnya tidak boleh terjadi, dan pemerintah harus melakukan pertimbangan dalam mengeluarkan regulasi serta lebih membuka ruang dialog sosial yang melibatkan seluruh elemen juga mempertimbangkan segala aspek baik hulu smapi dengan hilirnya agar tidak terkesan menguntung pihak lain dan hanya mempertimbangkan para kaum buruh secara keseluruhan agar melahirkan suatu perubahan kearah kebaikan, karena seperti yang kita ketahui bersama kaum buruh semakin sengsara dengan adanya kebijakan kebijakan demikian, belum lagi tarikannya kondisi hari ini kebutuhan-kebutuhan rumah tangga masih cukup tinggi.
Di momentum yang fitri ini maka sudah seharusnya dan selayaknya kaum buruh bisa mendapatkan sesuatu hal yang sesuai dengan fitrahnya kembali karena pada dasarnya ketika kita berbicara mengenai kesejahteraan buruh itu berarti kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Penulis: Okta Renaldi