Selamat datang di era kemunduran
Pikiran tertutup jadi andalan.
Praduga tumbuh tentram, menghakimi sepihak, sebar ketakutan.
Membakukan persepsi bukan jadi jawaban atau gagasan bijak.
Selangkah maju kedepan empat langkah ke belakang, kita takkan beranjak.
Mereka bermain Tuhan.
Merasa benar menjajab nalar.
Dan kalau kita membiarkan saja, anak kita berikutnya.
Individu, individu merdeka
“Sudahkah Merdeka, sudahkah dirimu merdeka???”
Individu, individu merdeka.
Penggalan di atas merupakan salah satu lirik dari grup band metal SERINGAI dalam single mereka yang berjudul Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan). Grup band SERINGAI ditakhlikkan oleh senior kolot scene metal Arian (Vokal) , Ricky Siahaan (Gitar) dan Edy Khemod (Drum) lalu Sammy (Bass) yang memberikan warna baru hingga membuat seringai menjadi wolf pack yang memiliki taring. Single Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan) menjadi inspirasi dan representatif penullis dalam menggambarkan dan menganalogikan komdisi kampus hijau kita tercinta saat ini, bahwa suatu persepsi yang dibakukan dan tidak menerima perbedaan menjalar dengan cepat dan begitu massif.
Lagu ini pertama kali penulis dengar sewaktu masih duduk di bangku sekolah menegah atas (SMA), yang dikenalkan oleh salah satu teman skena penulis saat itu sekitar 5 tahun yang lalu. Teriakan Arian sang vokalis “Individu, individu merdeka !!” menyambut kita di awal lagu. Lewat kata sederhana yang diulang-ulang itu menjadi anthem khas dari lagu Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan) milik SERINGAI hingga membekas di hati penulis sampai saat ini.
Tulisan ini merupakan sebuah karya analisis semiotika sederhana pada lagu Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan) sebagai bentuk apresiasi penulis untuk SERINGAI yang jadi melegenda karena lirik yang mengangkat social issue dan masih terus relevan. Terkhusus dengan realita yang sedang terjadi di kampus hijau tercinta Institut Agama Islam Negeri Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung.
Sabtu sore lelah namun lega seusai berlarat-larat libur semester kuliah sambil bekerja penulis menyempatkan diri untuk mengelilingi kampus hijau tercinta sekaligus bernostalgia pada hal-hal yang dulunya dianggap sebagian orang adalah suatu kegilaan. Maka agar kopi dan lima batang kretek tidak sia-sia, penulis mencoba untuk sedikit mengkorelasi dan mengkombinasikan lagu Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan) milik SERINGAI dengan situasi dan kondisi kampus hijau tercinta mendekati masa transisisi kepemimpinan ormawa pada tingkatat institut, fakultas hingga himpunan mahasiswa pada tingkatan program studi (prodi).
“Mereka Bermain Tuhan”
Pilihan kata “Bermain Tuhan” yang digunakan SERINGAI adalah permainan kata yang cukup berbahaya sebenarnya. Mengesankan bahwa kita manusia dengan seenak udelnya memainkan Sang Pencipta. Namun kalau membaca liriknya secara lengkap dan coba pahami, secara tidak langsung inilah yang sebenarnya sedang terjadi di kampus hijau kita tercinta
Taktik dan Strategi yang digunakan sebenarnya sama saja dengan beberapa tahun yang lalu. Menggunakan agama dan Tuhan untuk menggiring opini terhadap suatu individu atau golongan. Namun karena kesakralannya tersebut banyak yang terjebak dengan konformitas. Persepsi yang dibuat massif menjadi ketakukan bila menjadi yang beda..
Mengesampingkan Tuhan sebagai penciptanya sebagian oknum memanfaatkan agama untuk berkampanye di tengah pesta demokrasi demi kepentingan pribadi atau golongan mereka. Meraup suara untuk berpolitik dengan agama sebagai komoditasnya cukup beririsan dengan konteks para oknum mahasiswa yang sedang mencari dukungan untuk tujuan politik. Ironisnya hal ini terjadi di Insitut Agama Islam Negeri Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung sebagai perguruan tinggi keislaman yang seharusnya lebih paham terhadap hal ini.
“Merasa benar, menjajah nalar”
Nalar menjadi hal yang tabu dan sesuatu yang haram kini nalar menjadi tidak layak ada di otak. merasa kebenaran atas sebuah konstruksi sosial menjadi sesuatu hal yang mutlak. Tidak menerima perbedaan pendapat ataupun lainnya lagi, konformitas menjadi lekat
Kebencian menjadi bahan bakar yang ampuh. kebencian menjadi konten yang digemari, kebencian menjadi senjata pemusnah massal.
“Dan kalau kita membiarkan saja, anak kita berikutnya”
Penggalan lirik diatas seperti cambukan untuk mengingatkan kalau kejadian seperti ini tidak bisa dibiarkan karena terlalu berlarut dengan masalah yang sama. Bukankah kita bagian dari suatu kedzaliman itu sendiri jika kita menyaksikan kedzaliman namun hanya diam. Cukup sudah hal ini terus dilakukan jangan sampai generasi adik-adik kita kelak merasakan apa yang sedang kita rasakan.
Jika suatu kebencian muncul karena perbedaan atas hal apapun, biarkan kebencian itu disimpan sendiri tanpa menghasut orang lain. Jangan sampai menciptakan persepsi pribadi seolahmenjadi persepsi massif yang akhirnya menjadi konflik besar. Kata damai tidak akan pernah ada dan kebencian atas perbedaan selalu ada, namun langkah taktis yang bisa kita lakukan adalah dengan meminimalisirnya. Dalam hal ini bukan berarti penulis tidak optimis dengan adanya utopia tersebut. Hanya saja realitanya sudah ribuan tahun bumi ini hidup dengan keadaan seperti ini, jadi bersikap realistis tanpa berekspektasi lebih sepertinya jadi pilihan.
Sudah menjadi mahfudz untuk kita menjamin hak dari masing-masing tiap individu, karena negara pun menjamin hal tersebut. Di dunia ini kita hidup bukan dengan diri kita sendiri saja namun kita hidup berdampingan dengan manusia yang berbeda sampai setiap sel tubuhnya. Jangan sampai konflik-konflik seperti ini terus terjadi dan membesar hingga kemudian pada akhirnya melibatkan otak,otot dan darah. Hidup akan lebih hikmat bila perbedaan menjadi kewajaran bukan sebuah kenistaan.
Individu, individu merdeka !!!
Penulis : Dzaki Al Hafiizh (Menteri Kajian Isu dan Advokasi)